Jumat, 09 Maret 2012

MEMAKAN HARTA HARAM

"akan datang bagi manusia suatu jaman dimana orang tdk peduli apakah harta yg diperolehnya halal ato haram" (HR Bukhari)

Orang yang tidak takut kepada Allah, tentu tak peduli dari mana ia mendapatkan harta dan bagaimana ia menggunakannya. Yang menjadi pikirannya siang malam hanyalah bagaimana menambah simpanannya meski berupa harta haram, baik dari hasil pencurian, suap, ghasab (merampas), pemalsuan, menjual sesuatu yang haram, kegiatan ribawi, memakan harta anak yatim, atau gaji dari pekerjaan haram seperti perdukunan, pelacuran, menyanyi, korupsi dari Baitul Mal umat Islam atau harta milik umum, mengambil harta orang lain secara paksa atau meminta di saat berkecukupan dan sebagainya.
Lalu dengan harta haram itu ia makan, berpakaian, berkendaraan, membangun rumah, atau menyewanya, melengkapi perabotannya serta membuncitkan perutnya dengan hal-hal yang haram tersebut.
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka Neraka lebih pantas baginya.”( Hadits riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 19/136; Shahihul Jami’, 3594.)
Pada Hari Kiamat, ia akan ditanya tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan bagaimana ia menggunakannya. Di sana ia tentu akan mengalami kerugian dan kehancuran besar.
Karena itu, orang yang memiliki harta haram hendaknya segera berlepas diri daripadanya. Jika merupakan hak sesama manusia maka ia harus segera mengembalikannya kepada yang berhak, dengan memohon maaf dan kerelaan, sebelum datang suatu hari yang utang-piutang tidak lagi dibayar dengan uang, tetapi dengan pahala atau dosa.

Rabu, 07 Maret 2012

Akibat Bericara Dan Beramal Tanpa Ilmu

Akibat Bericara Dan Beramal Tanpa Ilmu
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Dan janganlah engkau ikuti apa yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang-nya, sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati semuanya itu akan di tanya” (QS Al-Isra’: 36).
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barang siapa berbicara tentang al Qur’an dengan akal nya atau tidak dengan ilmu, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka” (Hadist seperti ini ada dari 2 jalan, yaitu Ibnu Abas dan Jundub. Lihat Tafsir Qur’an yang diberi mukaddimah oleh Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth hal. 6, Tafsir Ibnu Katsir dalam Mukaddimah hal. 13, Jami’ As-Shahih Sunan Tirmidzi jilid 5 hal.183 no. 2950 dan Tuhfatul Ahwadzi jilid 8 hal. 277).
“Barang siapa mengamalkan sesuatu amal yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalnya itu tertolak.” (Shahih Muslim, Syarah Arba’in An-Nawawi hal. 21 Pembatalan Kemung-karan dan Bid’ah).
Dari salamah bin Akwa berkata , Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengatakan atas (nama)ku apa-apa yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di Neraka.” (HR Al-Bukhari I/35 dan lainya).
“Cukup bohong seseorang manakala dia membicarakan setiap apa yang dia dengar.” (HR. Muslim dalam muqaddimah shahihnya).
Nasihat Salafus Shalih
* Abu Darda berkata: “Kamu tidak akan menjadi orang yang bertaqwa sehingga kamu berilmu, dan kamu tidak menjadi orang yang berilmu secara baik sehingga kamu mau beramal.” (Adab dalam majelis-Muhammad Abdullah Al-Khatib).
Beliau juga berkata : “Orang-orang yang menganggap pergi dan pulang menuntut ilmu bukan termasuk jihad, berarti akal dan pikiranya telah berkurang.”
* Imam Hasan Al Basri mengatakan: Tafsir Surat-Baqarah ayat 201; Ya Tuhan, berikanlah kami kebaikan di dunia(ilmu dan ibadah) dan kebaikan di akhirat (Surga).
* Imam Syafi’i berkata: “Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hen-daklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaklah dengan ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan duanya maka hendaklah dengan ilmu.” (Al-Majmu’, Imam An-Nawawi).
* Imam Malik berkata: “Ilmu itu tidak diambil dari empat golongan, tetapi diambil dari selainya. Tidak diambil dari orang bodoh, orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, yang mengajak berbuat bid’ah dan pendusta sekalipun tidak sampai tertuduh mendustakan hadist-hadist Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak diambil dari orang yang dihormati, orang saleh, dan ahli ibadah yang mereka itu tidak memahami permasalahanya. Imam Muhammad Ibnu Sirin berkata: Sesungguhnya ilmu itu dien, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil dienmu.
Para ulama salaf memahami betul bahwa sebab-sebab terjadinya penyimpangan dikalangan orang-orang yang sesat pada asalnya karena kekeliruan tashawur (pandangan /wawasan) mereka tentang batasan ilmu (Lihat Al-Ilmu Ushulu wa Mashadiruhu wa Manahijuhu Muhammad bin Abdullah Al-Khur’an, cet. I 1412 H, Dar Al-Wathan lin Nasyr, Riyadh, hal. 7).
Orang-Orang salaf berkata :
“Waspadalah terhadap cobaan orang berilmu yang buruk (ibadahnya) dan ahli ibadah yang bodoh.” (Al-wala’wal bara’ hal. 230)
* Imam Asy-Syafi’i memberi nasihat kepada murid-muridnya:
Siapa yang mengambil fiqih dari kitab saja, maka ia menghilangkan banyak hukum. (Tadzkiratus sami’ wal mutakallim, Al-Kannani, hal.87, Efisiensi Waktu Konsep Islam. Jasmin M. Badr Al-Muthawi, hal 44).
* Abdullah bin Al-Mu’tamir berkata: “Jika engkau ingin mengerti kesalahan gurumu, maka duduklah engkau untuk belajar kepada orang lain.” (riwayat Ad-Darimi dalam Sunannya I/153)
* Riwayat Ibnu Wahab yang diterima dari Sofyan mengatakan: “Tidak akan tegak ilmu itu kecuali dengan perbuatan, juga ilmu dan perbuatan tidak akan ada artinya kecuali dengan niat yang baik. Juga ilmu, perbuatan dan niat yang baik tidak akan ada artinya kecuali bila sesuai dengan sunnah-sunnah.” (Syeikh Abu Ishaq As -Syatibi, Menuju jalan Lurus).
* Ibrahim Al-Hamadhi berkta: Tidaklah dikatakan seorang itu berilmu, sekalipun orang itu banyak ilmunya. Adapun yang dikatakan Allah ortang itu berilmu adalah orang-orang yang mengikuti ilmu dan mengamalkanya, dan menetap dalam perkara As-Sunah, sekalipun jumlah ilmu-ilmu dari orang-orang tersebut hanya sedikit (Syeikh Abu Ishaq As -Syatibi, Menuju jalan Lurus).
Keutamaan pencari ilmu dan yang mengatakan seseorang itu ahli ilmu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mencari satu jalan menuntut ilmu niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga.” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Allah SWT berfirman: “Tidak sepatutunya bagi orang-orang mukmin itu pergi semaunya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memeperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali.” (At-Taubah: 122)
Imam Muslim mengatakan kepada Imam Bukhari: “Demi Allah tidak ada di dunia ini yang lebih pandai tentang ilmu hadist dari engkau.” (Tarikh Bukhari, dalam Mukadimah Fathul Bari)
Imam Syafi’i berkomentar tentang Imam Ahmad: “Saya pergi dari kota Baghdad dan tidak saya tinggalkan di sana orang yang paling alim dalam bidang fiqih, yang paling wara’ dalam agamanya dan paling berilmu selain Imam Ahmad.” (Thobaqatus Syafi’I, As-Subki / Efisiensi Waktu Konsep Islam, Jasim m. Badr Al-Muthawi, hal.91)
Orang yang menuntut ilmu bukan kepada ahlinya [b/]
Dari Abdullah bin Ash ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu di kalangan umat manu-sia setelah dianugerahkan kepada mereka, tetapi Allah mencabut ilmu tersebut di kalangan umat manusia dengan dimatikannya para ulama, sehingga ketika tidak tersisa orang alimpun, maka manusia menjadikan orang-orang bodoh menjadi pimpinan. Mereka dimintai fatwanya, lau orang-orang bodoh tersebut berfatwa tanpa ilmu.” Dalam riwayat lain: “dengan ra’yu/akal. Maka sungguh perbuatan tersebut adalah sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari I/34).
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah saatnya (kebinasaannya).” (Shahih Bukhari bab Ilmu).
“Sesungguhnya termasuk tanda-tanda kiamat adalah dicarinya ilmu dari orang rendahan.” (lihatkitab Silsilah Hadist Shahih no. 695).
“Ya Allah aku mohon perlindung-anMu agar aku dijauhkan dari lmu yang tidak berguna (ilmu yang tidak aku amalkan, tidak aku ajarkan dan tidak pula merubah akhlakku), dan dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah puas dan doa yang tidak terkabulkan.” ( HR. Ahmad, Ibnu Hiban dan Al-Hakim)
“Ya Allah berikanlah kepadaku manfaat dari ilmu yang Engkau anugerahklan kepadaku , dan berilah aku ilmu yang bermanfaat bagiku dan tambahkanlah kepadaku ilmu” (Jami’ Ash-Shahih, Imam Tirmidzi no. 3599 Juz V hal. 54)
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang bermanfaat dan amal yang diterima” (Hisnul Muslim, hal. 44 no. 73).
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedangkan kamu mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 42).
“Wahai orang-orang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 208).
[b]Diantara buku dalam masalah ilmu:
* Tigapuluh satu nasihat untuk anda para penuntu ilmu-Faihan bin Sulaiman Al-Gharbi
* Muslim memilih ilmu – Abu Bakar Al-Jazairi
* Hilyatuthalibil’ilmi-Bakr bin Abdullah Abu Zaid
Wallahu a’lam bish-shawab

Selasa, 06 Maret 2012

Poligami, Bukti Keadilan Hukum Allah

Agama Islam yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha tinggi serta hikmah dan ketentuan hukum-Nya yang maha agung, adalah agama yang sempurna aturan syariatnya dalam menjamin kemaslahatan bagi umat Islam serta membawa mereka meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala berfirman,
{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا}
Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu” (QS. Al Maaidah:3).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah nikmat/anugerah Allah Ta’ala yang terbesar bagi umat Islam, karena Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama ini bagi mereka, sehingga mereka tidak butuh kepada agama selain Islam, juga tidak kepada nabi selain nabi mereka (nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itulah, Allah Ta’ala menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada (seluruh umat) manusia dan jin, maka tidak sesuatu yang halal kecuali yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan (dengan wahyu dari Allah Ta’ala), tidak ada sesuatu yang haram kecuali yang beliau haramkan, dan tidak ada agama kecuali yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan. Dan segala sesuatu yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan adalah benar dan jujur, tidak ada kedustaan dan kebohongan padanya, Allah Ta’ala berfirman,
{وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}
Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’aam:115). Yaitu: (kalimat) yang benar dalam semua beritanya serta adil dalam segala perintah dan larangannya.
Maka ketika Allah telah menyempurnakan agama Islam bagi umat ini, maka (ini berarti) nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada mereka telah sempurna. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),  “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu”. Artinya: Terimalah dengan ridha agama (Islam) ini bagi dirimu, karena inilah (satu-satunya) agama yang dicintai dan diridhai-Nya, dan dengannya dia mengutus (kepadamu) rasul-Nya yang paling mulia (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan menurunkan kitab-Nya yang paling agung (al-Qur’an)[1].
Sikap Seorang Mukmin terhadap Syariat Allah
Di antara ciri utama seorang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir adalah merasa ridha dan menerima dengan sepenuh hati semua ketentuan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ، وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا}
Dan tidakkah patut bagi laki-laki dan perempuan yang (benar-benar) beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS al-Ahzaab:36).
Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام ديناً وبمحمد رسولاً”
Akan merasakan kelezatan iman (kesempurnaan iman), orang yang ridha pada Allah Ta’ala sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya[2].
Tidak terkecuali dalam hal ini, hukum-hukum Islam yang dirasakan tidak sesuai dengan kemauan/keinginan sebagian orang, seperti poligami, yang dengan mengingkari atau membenci hukum Allah Ta’ala tersebut, bisa menyebabkan pelakunya murtad/keluar dari agama Islam[3], na’uudzu billahi min dzaalik. Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat orang-orang kafir,
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka” (QS Muhammad:9).
Oleh karena itu, dalam memahami dan melaksanakan syariat Islam hendaknya kita selalu waspada dan behati-hati dari dua senjata utama godaan setan untuk memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah Ta’ala:
Yang pertama: sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam memahami dan menjalankan ketentuan syariat-Nya, terlebih lagi dalam menjalankan ketentuan syariat yang dirasakan cocok dengan kepentingan hawa nafsu.
Yang kedua: sikap meremehkan dan kurang dalam memahami dan melaksanakan ketentuan syariat Allah Ta’ala, yang ini sering terjadi pada sebagian hukum syariat Islam yang dirasakan oleh sebagian orang tidak sesuai dengan kemauan hawa nafsunya[4].
Salah seorang ulama salaf ada yang berkata, “Setiap Allah Ta’ala memerintahkan suatu perintah (dalam agama-Nya) maka setan mempunyai dua macam godaan (untuk memalingkan manusia dari perintah tersebut): [1] (yaitu godaan) untuk (bersikap) kurang dan meremehkan (perintah tersebut), dan [2] (godaan) untuk (bersikap) berlebih-lebihan dan melampaui batas (dalam melaksanakannya), dan dia tidak peduli dengan godaan mana saja (dari keduanya) yang berhasil (diterapkannya kepada manusia)”[5].
Hukum Poligami dalam Islam
Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan)[6].
Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta’ala,
{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ}
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa’:3).
Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).
Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di atas meskipun berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil[7], atau maknanya, “Janganlah kamu menikahi kecuali wanita yang kamu senangi”.
Ini seperti makna yang ditunjukkan dalam firman-Nya,
{وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ}
Dan katakanlah:”Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS al-Kahfi:29). Maka tentu saja makna ayat ini adalah larangan melakukan perbuatan kafir dan bukan perintah untuk melakukannya[8].
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdulah bin Baz ketika ditanya, “Apakah poligami dalam Islam hukumya mubah (boleh) atau dianjurkan?” Beliau menjawab rahimahullah, “Poligami (hukumnya) disunnahkan (dianjurkan) bagi yang mampu, karena firman Allah Ta’ala (beliau menyabutkan ayat tersebut di atas), dan karena perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi sembilan orang wanita, Allah memberi manfaat (besar) bagi umat ini dengan (keberadaan) para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, dan ini (menikahi sembilan orang wanita) termasuk kekhususan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menikahi lebih dari empat orang wanita[9]. Karena dalam poligami banyak terdapat kemslahatan/kebaikan yang agung bagi kaum laki-laki maupun permpuan, bahkan bagi seluruh umat Islam. Sebab dengan poligami akan memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan, menjaga kemaluan (kesucian), memperbanyak (jumlah) keturunan, dan (memudahkan) bagi laki-laki untuk memimpin beberapa orang wanita dan membimbing mereka kepada kebaikan, serta menjaga mereka dari sebab-sebab keburukan dan penyimpangan. Adapun bagi yang tidak mampu melakukan itu dan khawatir berbuat tidak adil, maka cukuplah dia menikahi seorang wanita (saja), karena Allah Ta’ala berfirman,
{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).
Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat[10].
Senada dengan ucapan di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “…Seorang laki-laki jika dia mampu dengan harta, badan (tenaga) dan hukumnya (bersikap adil), maka lebih utama (baginya) untuk menikahi (dua) sampai empat (orang wanita) jika dia mampu. Dia mampu dengan badannya, karena dia enerjik, (sehingga) dia mampu menunaikan hak yang khusus bagi istri-istrinya. Dia (juga) mampu dengan hartanya (sehingga) dia bisa memberi nafkah (yang layak) bagi istri-istrinya. Dan dia mampu dengan hukumnya untuk (bersikap) adil di antara mereka. (Kalau dia mampu seperti ini) maka hendaknya dia menikah (dengan lebih dari seorang wanita), semakin banyak wanita (yang dinikahinya) maka itu lebih utama. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Orang yang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya[11]”…[12].
Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Adapun (hukum) asal (pernikahan) apakah poligami atau tidak, maka aku tidak mendapati ucapan para (ulama) ahli tafsir, yang telah aku baca kitab-kitab tafsir mereka yang membahas masalah ini. Ayat al-Qur’an yang mulia (surat an-Nisaa’:3) menunjukkan bahwa seorang  yang memiliki kesiapan (kesanggupan) untuk menunaikan hak-hak para istri secara sempurna maka dia boleh untuk berpoligami (dengan menikahi dua) sampai empat orang wanita. Dan bagi yang tidak memiliki kesiapan (kesanggupan) cukup dia menikahi seorang wanita, atau memiliki budak. Wallahu a’lam[13].
Hikmah dan Manfaat Agung Poligami
Karena poligami disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang mempunyai nama al-Hakim, artinya Zat yang memiliki ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah[14] yang maha sempurna, maja hukum Allah Ta’ala yang mulia ini tentu memiliki banyak hikmah dan faidah yang agung, di antaranya:
Pertama: Terkadang poligami harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya jika istri sudah lanjut usia atau sakit, sehingga kalau suami tidak poligami dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga kehormatan dirinya. Atau jika suami dan istri sudah dianugerahi banyak keturunan, sehingga kalau dia harus menceraikan istrinya, dia merasa berat untuk berpisah dengan anak-anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus dalam perbuatan zina jika tidak berpoligami. Maka masalah ini tidak akan bisa terselesaikan kecuali dengan poligami, insya Allah.
Kedua: Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan keterikatan di antara sesama manusia, setelah hubungan nasab. Allah Ta’ala berfirman,
{وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا}
Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan karena pernikahan), dan adalah Rabbmu Maha Kuasa” (QS al-Furqaan:54).
Maka poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan dan kedekatan (antara) banyak keluarga, dan ini salah satu sebab poligami yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[15].
Ketiga: Poligami merupakan sebab terjaganya (kehormatan) sejumlah besar wanita, dan terpenuhinya kebutuhan (hidup) mereka, yang berupa nafkah (biaya hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini merupakan tuntutan syariat.
Keempat: Di antara kaum laki-laki ada yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi (dari bawaannya), sehingga tidak cukup baginya hanya memiliki seorang istri, sedangkan dia orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Akan tetapi dia takut terjerumus dalam perzinahan, dan dia ingin menyalurkan kebutuhan (biologis)nya dalam hal yang dihalalkan (agama Islam), maka termasuk agungnya rahmat Allah Ta’ala terhadap manusia adalah dengan dibolehkan-Nya poligami yang sesuai dengan syariat-Nya[16].
Kelima: Terkadang setelah menikah ternyata istri mandul, sehingga suami berkeinginan untuk menceraikannya, maka dengan disyariatkannya poligami tentu lebih baik daripada suami menceraikan istrinya.
Keenam: Terkadang juga seorang suami sering bepergian, sehingga dia butuh untuk menjaga kehormatan dirinya ketika dia sedang bepergian.
Ketujuh: Banyaknya peperangan dan disyariatkannya berjihad di jalan Allah, yang ini menjadikan banyak laki-laki yang terbunuh sedangkan jumlah perempuan semakin banyak, padahal mereka membutuhkan suami untuk melindungi mereka. Maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.
Kedelapan: Terkadang seorang lelaki tertarik/kagum terhadap seorang wanita atau sebaliknya, karena kebaikan agama atau akhlaknya, maka pernikahan merupakan cara terbaik untuk menyatukan mereka berdua.
Kesembilan: Kadang terjadi masalah besar antara suami-istri, yang menyebabkan terjadinya perceraian, kemudian sang suami menikah lagi dan setelah itu dia ingin kembali kepada istrinya yang pertama, maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.
Kesepuluh: Umat Islam sangat membutuhkan lahirnya banyak generasi muda, untuk mengokohkan barisan dan persiapan berjihad melawan orang-orang kafir, ini hanya akan terwujud dengan poligami dan tidak membatasi jumlah keturunan.
Kesebelas: Termasuk hikmah agung poligami, seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.
Keduabelas: Dan termasuk hikmah agung poligami, semakin kuatnya ikatan cinta dan kasih sayang antara suami dengan istri-istrinya. Karena setiap kali tiba waktu giliran salah satu dari istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan sangat rindu pada istrinya tersebut, demikian pula sang istri sangat merindukan suaminya.
Masih banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang tentu saja orang yang beriman kepada Allah dan kebenaran agama-Nya tidak ragu sedikitpun terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang disyariatkan-Nya. Cukuplah sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu adalah menunaikan perintah Allah Ta’ala dan mentaati-Nya dalam semua ketentuan hukum yang disyariatkan-Nya[17].
Arti Sikap “Adil” dalam Poligami
Allah Ta’ala memerintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat Allah Ta’ala dalam semua itu, karena Allah Ta’ala mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna[18]. Allah Ta’ala berfirman,
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS an-Nahl:90).
Termasuk dalam hal ini, sikap “adil” dalam poligami, yaitu adil (tidak berat sebelah) dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka[19]. Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang sekecil-kecilnya[20], yang ini jelas di luar kemampuan manusia[21].
Sebab timbulnya kesalahpahaman dalam masalah ini, di antaranya karena hawa nafsu dan ketidakpahaman terhadap agama, termasuk kerancuan dalam memahami firman Allah Ta’ala[22],
{وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ}
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (QS an-Nisaa’:129).
Marilah kita lihat bagaimana para ulama Ahlus sunnah memahami firman Allah yang mulia ini.
Imam asy-Syafi’i berkata, “Sebagian dari para ulama ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Ta’ala): “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…”, (artinya: berlaku adil) dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena Allah Ta’ala mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka. “…karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang menyimpang dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai/tepat. Wallahu a’lam[23].
Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Ta’ala ini dalam bab: al-‘adlu bainan nisaa’ (bersikap adil di antara para istri)[24], dan Imam Ibnu Hajar menjelaskan makna ucapan imam al-Bukhari tersebut, beliau berkata, “Imam al-Bukhari mengisyaratkan dengan membawakan ayat tersebut bahwa (adil) yang dinafikan dalam ayat ini (adil yang tidak mampu dilakukan manusia) adalah adil di antara istri-istrinya dalam semua segi, dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang shahih) menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan adil (dalam poligami) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi masing-masing dari mereka. Jika seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengannya (secara layak), maka dia tidak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu, berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari mereka)…Imam at-Tirmidzi berkata, “Artinya: kecintaan dan kecenderungan (dalam hati)”, demikianlah penafsiran para ulama (ahli tafsir)…Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari jalan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Yaitu: kecintaan (dalam hati) dan jima’ (hubungan intim)…[25].
Imam al-Qurthubi berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memberitakan ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap adil di antara istri-istrinya, yaitu (menyamakan) dalam kecenderungan hati dalam cinta, berhubungan intim dan ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini) Allah menerangkan keadaan manusia bahwa mereka secara (asal) penciptaan tidak mampu menguasai kecenderungan hati mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang lainnya. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (dalam doa beliau), “Ya Allah, inilah pembagianku (terhadap istri-istriku) yang aku mampu (lakukan), maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau miliki dan tidak aku miliki[26]. Kemudian Allah melarang “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)”, Imam Mujahid berkata, “(Artinya): janganlah kamu sengaja berbuat buruk (aniaya terhadap istri-istrimu), akan tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah (biaya hidup), karena ini termsuk perkara yang mampu (dilakukan manusia)”[27].
Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat di atas): Wahai manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil (menyamakan) di antara para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran mereka secara lahir semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan intim, sebagaimana keterangan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Ubaidah as-Salmaani, Hasan al-Bashri, dan Dhahhak bin Muzahim”[28].
Kecemburuan dan Cara Mengatasinya
Cemburu adalah fitrah dan tabiat yang mesti ada dalam diri manusia, yang pada asalnya tidak tercela, selama tidak melampaui batas. Maka dalam h`l ini, wajib bagi seorang muslim, terutama bagi seorang wanita muslimah yang dipoligami, untuk mengendalikan kecemburuannya. Karena kecemburuan yang melampaui batas bisa menjerumuskan seseorang ke dalam pelanggaran syariat Allah, seperti berburuk sangka, dusta, mencela[29], atau bahkan kekafiran, yaitu jika kecemburuan tersebut menyebabkannya membenci ketentuan hukum yang Allah syariatkan. Allah Ta’ala berfirman,
{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka” (QS Muhammad:9).
Demikian pula perlu diingatkan bagi kaum laki-laki untuk lebih bijaksana dalam menghadapi kecemburuan para wanita, karena hal ini juga terjadi pada diri wanita-wanita terbaik dalam Islam, yaitu para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi semua itu dengan sabar dan bijaksana, serta menyelesaikannya dengan cara yang baik[30].
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Asal sifat cemburu adalah merupakan watak bawaan bagi wanita, akan tetapi jika kecemburuan tersebut melampuai batas dalam hal ini sehingga melebihi (batas yang wajar), maka itulah yang tercela. Yang menjadi pedoman dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Atik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunguhnya di antara sifat cemburu ada yang dicintai oleh Allah dan ada yang dibenci-Nya. Adapun kecemburuan yang dicintai-Nya adalah al-ghirah (kecemburuan) terhadap keburukan. Sedangkan kecemburuan yang dibenci-Nya adalah kecemburuan terhadap (perkara) yang bukan keburukan[31].[32]
Sebab-sebab yang mendorong timbulnya kecemburuan yang tercela (karena melampaui batas) adalah:
- Lemahnya iman dan lalai dari mengingat Allah Ta’ala.
- Godaan setan
- Hati yang berpenyakit
- Ketidakadilan suami dalam memperlakukan dan menunaikan hak sebagian dari istri-istrinya.
- Rasa minder dan kurang pada diri seorang istri.
- Suami yang menyebutkan kelebihan dan kebaikan seorang istrinya di hadapan istrinya yang lain[33].
Adapun cara mengatasi kecemburuan ini adalah:
- Bertakwa kepada Allah Ta’ala.
- Mengingat dan memperhitungkan pahala yang besar bagi wanita yang bersabar dalam mengendalikan dan mengarahkan kecemburuannya sesuai dengan batasan-batasan yang dibolehkan dalam syariat.
- Menjauhi pergaulan yang buruk.
- Bersangka baik.
- Bersikap qana’ah (menerima segala ketentuan Allah I dengan lapang dada).
- Selalu mengingat kematian dan hari akhirat
- Berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan kecemburuan tersebut[34].
Nasehat Bagi Yang Berpoligami dan Dipoligami[35]
1. Nasehat untuk suami yang berpoligami
- Bersikap adillah terhadap istri-istrimu dan hendaklah selalu bersikap adil dalam semua masalah, sampai pun dalam masalah yang tidak wajib hukumnya. Janganlah kamu bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari istri-istrimu.
- Berlaku adillah terhadap semua anakmu dari semua istrimu. Usahakanlah untuk selalu mendekatkan hati mereka, misalnya dengan menganjurkan istri untuk menyusui anak dari istri yang lain. Pahamkanlah kepada mereka bahwa mereka semua adalah saudara. Jangan biarkan ada peluang bagi setan untuk merusak hubungan mereka.
- Sering-seringlah memuji dan menyebutkan kelebihan semua istri, dan tanamkanlah kepada mereka keyakinan bahwa tidak ada kecintaan dan kasih sayang yang (abadi) kecuali dengan mentaati Allah Ta’ala dan mencari keridhaan suami.
- Janganlah menceritakan ucapan salah seorang dari mereka kepada yang lain. Janganlah menceritakan sesuatu yang bersifat rahasia, karena rahasia itu akan cepat tersebar dan disampaikannya kepada istri yang lain, atau dia akan membanggakan diri bahwa dia mengetahui rahasia suami yang tidak diketahui istri-istri yang lain.
- Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka, baik dalam hal kecantikan, kepandaian memasak, atau akhlak, di hadapan istri yang lain. Karena ini semua akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta kebencian di antara mereka, kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan yang diharapkan.
- Janganlah kamu mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka tentang istri yang lain, dan tegurlah/laranglah perbuatan tersebut, supaya mereka tidak terbiasa saling menejelek-jelekkan satu sama yang lain.
2. Nasehat untuk istri pertama
- Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan ketahuilah bahwa sikap menentang dan tidak menerima akan membahayakan bagi agama dan kehidupanmu.
- Benahilah semua kekuranganmu yang diingatkan oleh suamimu. Karena boleh jadi itu merupakan sebab dia berpoligami. Kalau kekurangan-kekurangan tersebut berhasil kamu benahi maka bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas petunjuk-Nya.
- Berikanlah perhatian besar kepada suamimu dan sering-seringlah memujinya, baik di hadapan atau di belakangnya, terutama di hadapan keluargamu atau teman-temanmu, karena ini termasuk hal yang bisa memperbaiki hati dan lisanmu, serta menyebabkan keridhaan suami padamu. Dengan itu kamu akan menjadi teladan yang baik bagi para wanita yang menentang dan mengingkari syariat poligami, atau mereka yang merasa disakiti ketika suaminya berpoligami.
- Janganlah kamu mendengarkan ucapan orang jahil yang punya niat buruk dan ingin menyulut permusuhan antara kamu dengan suamimu, atau dengan madumu. Janganlah kamu mudah menyimpulkan sesuatu yang kamu dengar sebelum kamu meneliti kebenaran berita tersebut.
- Janganlah kamu menanamkan kebencian dan permusuhan di hati anak-anakmu kepada istri-istri suamimu dan anak-anak mereka, karena mereka adalah saudara dan sandaran anak-anakmu. Ingatlah bahwa tipu daya yang buruk hanya akan menimpa pelakunya.
- Jangalah kamu merubah sikap dan perlakuanmu terhadap suamimu. Janganlah biarkan dirimu menjadi bahan permainan setan, serta mintalah pertolongan dan berdolah kepada Allah Ta’ala agar Dia menguatkan keimanan dan kecintaan dalam hatimu.
3. Nasehat untuk istri yang baru dinikahi
- Ketahuilah bahwa kerelaanmu dinikahi oleh seorang yang telah beristri adalah kebaikan yang besar dan menunjukkan kuatnya iman dan takwa dalam hatimu, insya Allah. Pahamilah ini semua dan harapkanlah ganjaran pahala dari Allah atas semua itu.
- Gunakanlah waktu luangmu ketika suamimu berada di rumah istrinya yang lain dengan membaca al-Qur’an, mendengarkan ceramah-ceramah agama yang bermanfaat, dan membaca buku-buku yang berfaedah, atau gunakanlah untuk membersihkan rumah dan merawat diri.
- Jadilah engkau sebagai da’i (penyeru) manusia ke jalan Allah Ta’ala dalam hukum-Nya yang mulia ini. Fahamkanlah mereka tentang hikmah-Nya yang agung dalam syariat poligami ini. Janganlah engkau menjadi penghalang bagi para wanita untuk menerima syariat poligami ini.
- Janganlah bersikap enggan untuk membantu/mengasuh istri-istri suami dan anak-anak mereka jika mereka membutuhkan pertolonganmu. Karena perbuatan baikmu kepada mereka bernilai pahala yang agung di sisi Allah dan menjadikan suami ridha kepadamu, serta akan menumbuhkan kasih sayang di antara kamu dan mereka.
- Janganlah kamu membeberkan kekurangan dan keburukan istri suami yang lain. Jangan pernah menceritakan kepada orang lain bahwa suami berpoligami karena tidak menyukai istrinya yang pertama, karena ini semua termasuk perangkap setan.
- Jangan kamu berusaha menyulut permusuhan antara suami dengan istrinya yang lain, agar dia semakin sayang padamu. Karena ini adalah perbuatan namiimah (mengadu domba) yang merupakan dosa besar. Berusahalah untuk selalu mengalah kepadanya, karena ini akan mendatangkan kebaikan yang besar bagi dirimu.
Penutup
Demikianlah keterangan tentang poligami yang menunjukkan sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum Allah Ta’ala. Semoga ini semua menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama Islam, karena ditetapkan oleh Allah Ta’ala yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 26 Dzulqa’dah 1430 H

 Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

 1] Tafsir Ibnu Katsir (2/19).
[2] HSR Muslim (no. 34).
[3] Kitab “Fadhlu ta’addudiz zaujaat” (hal. 24).
[4] kitab “Ighaatsatul lahfan” (1/116).
[5] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Ighaatsatul lahfan” (1/116).
[6] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 18).
[7] Maksudnya adil yang sesuai dengan syariat, sebagaimana yang akan kami terangkan, insya Allah.
[8] Lihat keterangan imam Ibnu Jarir dalam tafsir beliau (4/238).
[9] Sebagaimana yang diterangkan dalam bebrapa hadits yang shahih, diantaranya HR at-Tirmidzi (3/435) dan Ibnu Majah (1/628), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
[10] Dinukil dalam majalah “al-Balaagh” (edisi no. 1028, tgl 1 Rajab 1410 H/28 Januari 1990 M).
[11] Atsar yang shahih riwayat imam al-Bukhari (no. 4787).
[12] Liqaa-il baabil maftuuh (12/83).
[13] Fataawal mar’atil muslimah (2/690).
[14] Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allah Ta’ala, lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 131).
[15] Lihak keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam “Fathul Baari” (9/143).
[16] Majmuu’ul fataawa syaikh al-‘Utsaimiin (4/12 – kitabuz zawaaj).
[17] Lihat kitab  “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 31-32).
[18] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/596) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 447).
[19] Lihat kitab  “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 69).
[20] Sebagaimana persangkaan keliru orang-orang yang tidak memahami pengertian adil yang sebenarnya.
[21] Sebagaimana penjelasan para ulama yang akan kami nukil setelah ini, insya Allah.
[22] Bahkan kesalahpahaman dalam memahami ayat ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa poligami tidak boleh dilakukan, karena orang yang berpoligami tidak mungkin bisa bersikap adil !!? Kita berlindung kepada Allah dari penyimpangan dalam memahami agama-Nya.
[23] Kitab “al-Umm” (5/158).
[24] Dalam kitab “shahihul Bukhari” (5/1999).
[25] Kitab “Fathul Baari” (9/313).
[26] Hadits ini adalah hadits yang lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2134), at-Tirmidzi (no. 1140), an-Nasa’i (no. 3943) dan Ibnu Majah (no. 1971), dinyatakan lemah oleh Abu Zur’ah, Abu Hatim, an-Nasa’i dan syaikh al-Albani dalam “Irwa-ul ghalil” (7/82).
[27] Kitab “Tafsiirul Qurthubi” (5/387).
[28] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/747).
[29] Lihat kitab  “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 136).
[30] Ibid.
[31] HR an-Nasa’i (no. 2558) dan Ibnu Hibban (no. 295), dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.
[32] Kitab “Fathul Baari” (9/326).
[33] Lihat kitab  “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 140).
[34] Ibid (hal. 141).
[35] Lihat kitab  “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 143-145).

Ketika Wanita Menggoda



Allah ta’ala telah menganugerahkan kepada kaum wanita keindahan yang membuat kaum lelaki tertarik kepada mereka. Namun syariat yang suci ini tidak memperkenankan keindahan itu diobral seperti layaknya barang dagangan di etalase atau di emperan toko. Tapi kenyataan yang kita jumpai sekarang ini wanita justru menjadi sumber fitnah bagi laki-laki. Di jalan-jalan, di acara TV atau di VCD para wanita mengumbar aurat seenaknya bak kontes kecantikan yang melombakan keindahan tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada siksa dan tidak kenal apa itu dosa. Benarlah sabda Rasulullah yang mulia dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, di mana beliau bersabda, “Tidak pernah kutinggalkan sepeninggalku godaan yang lebih besar bagi kaum lelaki daripada wanita.” (HR. Bukhari Muslim)

Ya, begitulah realitasnya, wanita menjadi sumber godaan yang telah banyak membuat lelaki bertekuk lutut dan terbenam dalam lumpur yang dibuat oleh syaitan untuk menenggelamkannya. Usaha-usaha untuk menggoda bisa secara halus, baik disadari maupun tidak, secara terang-terangan maupun berkedok seni. Tengoklah kisah Nabi Allah Yusuf ‘alaihis salam tatkala istri pembesar Mesir secara terang-terangan menggoda Beliau untuk diajak melakukan tindakan tidak pantas. Nabi Yusuf pun menolak dan berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik.” (QS. Yusuf: 23)
Muhammad bin Ishaq menceritakan, As-Sirri pernah lewat di sebuah jalan di kota Mesir. Karena tahu dirinya menarik, wanita ini berkata, “Aku akan menggoda lelaki ini.” Maka wanita itu membuka wajahnya dan memperlihatkan dirinya di hadapan As-Sirri. Beliau lantas bertanya, “Ada apa denganmu?” Wanita itu berkata, “Maukah anda merasakan kasur yang empuk dan kehidupan yang nikmat?” Beliau malah kemudian melantunkan syair,”Berapa banyak pencandu kemaksiatan yang mereguk kenikmatan dari wanita-wanita itu, namun akhirnya ia mati meninggalkan mereka untuk merasakan siksa yang nyata. Mereka menikmati kemaksiatan yang hanya sesaat, untuk merasakan bekas-bekasnya yang tak kunjung sirna. Wahai kejahatan, sesungguhnya Allah melihat dan mendengar hamba-Nya, dengan kehendak Dia pulalah kemaksiatan itu tertutupi jua.” (Roudhotul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin, karya Ibnul Qayyim)
Perhatikanlah bagaimana Rasulullah telah mewanti-wanti kepada kita sekalian lewat sabda beliau, “Hati-hatilah pada dunia dan hati-hatilah pada wanita karena fitnah pertama bagi Bani Isroil adalah karena wanita.” (HR. Muslim) Kini, di era globalisasi, ketika arus informasi begitu deras mengalir, godaan begitu gampang masuk ke rumah-rumah kita. Cukup dengan membuka surat kabar dan majalah, atau dengan mengklik tombol remote control, godaan pun hadir di tengah-tengah kita tanpa permisi, menampilkan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok memamerkan aurat yang semestinya dijaga.
Lalu, sebagian muslimah ikut-ikutan terbawa oleh propaganda gaya hidup seperti ini. Pakaian kehormatan dilepas, diganti dengan pakaian-pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh, tanpa merasa risih. Godaan pun semakin kencang menerpa, dan pergaulan bebas menjadi hal biasa. Maka, kita perlu merenungkan dua bait syair yang diucapkan oleh Sufyan Ats-Tsauri: “Kelezatan-kelezatan yang didapati seseorang dari yang haram, toh akan hilang juga, yang tinggal hanyalah aib dan kehinaan, segala kejahatan akan meninggalkan bekas-bekas buruk, sungguh tak ada kebaikan dalam kelezatan yang berakhir dengan siksaan dalam neraka.”
Seorang ulama yang masyhur, Ibnul Qayyim pun memberikan nasihat yang sangat berharga: “Allah Subhanahu wa ta’ala telah menjadikan mata itu sebagai cerminan hati. Apabila seorang hamba telah mampu meredam pandangan matanya, berarti hatinya telah mampu meredam gejolak syahwat dan ambisinya. Apabila matanya jelalatan, hatinya juga akan liar mengumbar syahwat…”
Wallahul Musta’an.
***Abu Harun Aminuddin

Menjalin Cinta Abadi Dalam Rumah Tangga

Setiap orang yang telah berkeluarga, tentu menginginkan kebaikan dan kebahagiaan dalam kehidupannya bersama istri dan anak-anaknya. Hal ini sebagai perwujudan rasa cintanya kepada mereka, yang kecintaan ini merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa setiap manusia. Allah Ta’ala berfirman,
{زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ}
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (QS Ali ‘Imran:14).
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya.
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ}
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS At Taghaabun:14).
Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari melakukan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Ta’ala[1].
Salah Menempatkan Arti Cinta dan Kasih Sayang
Kita dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak-anaknya, dengan menuruti semua keinginan mereka meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, yang pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka sendiri.
Sewaktu menafsirkan ayat tersebut di atas, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Allah telah memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya…”[2].
Oleh karena itulah, seorang kepala keluarga yang benar-benar menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya, karena semua itu akan ditanggungnya pada hari kiamat kelak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته، … والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم”
Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya … Seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka[3].
Cinta sejati yang abadi
Seorang kepala keluarga yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati terhadap mereka tidak diwujudkan dengan hanya mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Karena pentingnya hal ini, Allah Ta’ala mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimt dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[4].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertaubat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[5].
Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiyallahu ‘anhuma masih kecil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”[6].
Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[7].
Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan melaksanakan perintah Allah Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan besar dalam rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya ataupun di antara sesama keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat manusia? Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).
Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…[8].
Dan barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata-semata, serta mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ}
Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS az-Zukhruf:67).
Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih sayang karena-Nya[9].
Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba –dengan izin Allah Ta’ala– akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya,
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}
Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan:74).
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata, “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala[10].
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga kita.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/482).
[2] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 637).
[3] HSR al-Bukhari (no. 2278) dan Muslim (no. 1829).
[4] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[5] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[6] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
[7] Fathul Baari (3/355).
[8] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab “ad-Da-u wad dawaa’” (hal. 68).
[9] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/170).
[10] Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).


9 Kiat Agar Tidak Terjerumus dalam Kelamnya Zina

Segala puji yang terbaik hanyalah milik Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Kita sudah ketahui bersama bagaimanakah kehidupan pemuda lajang saat ini. Pergaulan bebas bukanlah suatu yang asing lagi di tengah-tengah mereka. Tidak memiliki kekasih dianggap tabu di tengah-tengah mereka. Hubungan yang melampaui batas layaknya suami istri pun seringkali terjadi. Bahkan ada yang sampai putus sekolah gara-gara masalah ini. Sungguh, inilah tanda semakin dekatnya hancur dunia.
Dalam tulisan kali ini, kami akan berusaha memberikan tips-tips mudah kepada segenap pemuda dan kaum muslimin secara umum agar  mereka bisa menjauhkan diri dari bahaya yang satu ini yaitu zina. Semoga Allah beri kepahaman.
Pertama: Ketahuilah Bahaya Zina
Allah Ta’ala dalam beberapa ayat telah menerangkan bahaya zina dan menganggapnya sebagai perbuatan amat buruk. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32)
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِ؊نَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (QS. Al Furqon: 68). Artinya, orang yang melakukan salah satu dosa yang disebutkan dalam ayat ini akan mendapatkan siksa dari perbuatan dosa yang ia lakukan.
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda, “Engkau membunuh anakmu yang dia makan bersamamu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda,
ثُمَّ أَنْ تُزَانِىَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ
Kemudian engkau berzina dengan istri tetanggamu.” Kemudian akhirnya Allah turunkan surat Al Furqon ayat 68 di atas.[1] Di sini menunjukkan besarnya dosa zina, apalagi berzina dengan istri tetangga.
Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ مِنْهُ الإِيمَانُ كَانَ عَلَيْهِ كَالظُّلَّةِ فَإِذَا انْقَطَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الإِيمَانُ
Jika seseorang itu berzina, maka iman itu keluar dari dirinya seakan-akan dirinya sedang diliputi oleh gumpalan awan (di atas kepalanya). Jika dia lepas dari zina, maka iman itu akan kembali padanya.[2]
Inilah besarnya bahaya zina. Oleh karenanya, syariat Islam yang mulia dan begitu sempurna sampai menutup berbagai pintu agar setiap orang tidak terjerumus ke dalamnya. Jika seseorang mengetahui bahaya zina dan akibatnya, seharusnya setiap orang semakin takut pada Allah agar tidak terjerumus dalam perbuatan tersebut. Rasa takut pada Allah dan siksaan-Nya yang nanti akan membuat seseorang tidak terjerumus di dalamnya.
Kedua: Rajin Menundukkan Pandangan
Seringnya melihat lawan jenis dengan pandangan penuh syahwat, inilah panah setan yang paling mudah mengantarkan pada maksiat yang lebih parah. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (٣٠) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An Nur: 30-31)
Allah Ta’ala juga menerangkan bahwa setiap insan akan ditanya apa saja yang telah ia lihat, sebagaimana terdapat dalam firman Allah,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isro’: 36)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarang duduk-duduk di tengah jalan karena duduk semacam ini dapat mengantarkan pada pandangan yang haram.
Dari Abu Sa’id Al Khudriy radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ » . فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ ، إِنَّمَا هِىَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا . قَالَ « فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا » قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ « غَضُّ الْبَصَرِ ، وَكَفُّ الأَذَى ، وَرَدُّ السَّلاَمِ ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ ، وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ »
“Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan”. Mereka bertanya, “Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami bercengkrama”. Beliau bersabda, “Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut”. Mereka bertanya, “Apa hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menyingkirkan gangguan di jalan, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi munkar”. (HR. Bukhari no. 2465)
Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 2159)
Ketiga: Menjauhi Campur Baur (Ikhtilath) yang Diharamkan
Di antara dalil yang menunjukkan haramnya ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan) adalah hadits-hadits berikut.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ » . فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ . قَالَ « الْحَمْوُ الْمَوْتُ »
Janganlah kalian masuk ke dalam tempat kaum wanita.” Lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” beliau menjawab: “Ipar adalah maut.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ » . فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ امْرَأَتِى خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِى غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا . قَالَ « ارْجِعْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ »
Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahromnya.” Lalu seorang laki-laki bangkit seraya berkata, “Wahai Rasulullah, isteriku berangkat hendak menunaikan haji sementara aku diwajibkan untuk mengikuti perang ini dan ini.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, kembali dan tunaikanlah haji bersama isterimu.” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341)
Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkhutbah di hadapan manusia di Jabiyah (suatu perkampungan di Damaskus), lalu ia membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
Janganlah salah seorang diantara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barangsiap yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin.” (HR. Ahmad 1/18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa s`nad hadits ini shahih, para perowinya tsiqoh sesuai syarat Bukhari-Muslim)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ لاَ يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ
Ketahuilah! Seorang laki-laki bukan muhrim mahram tidak boleh bermalam di rumah perempuan janda, kecuali jika dia telah menikah, atau ada mahramnya.” (HR. Muslim no. 2171)
Keempat: Wanita Hendaklah Meninggalkan Tabarruj
Inilah yang diperintahkan bagi wanita muslimah. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab : 33). Abu ‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.” Az Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.”[3]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mengajak orang lain untuk tidak taat, dirinya sendiri jauh dari ketaatan, kepalanya seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
Kelima: Berhijab Sempurna di Hadapan Pria
Sebagaimana Allah Ta’ala firmankan,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)
Konteks pembicaraan dalam ayat ini adalah khusus untuk istri Nabi. Namun illah dalam ayat tersebut dimaksudkan umum sehingga hukumnya pun berlaku umum pada yang lainnya. Illah yang dimaksud adalah,
ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”.
Juga kalau kita perhatikan kelanjutan ayat, maka hijab tersebut berlaku bagi wanita mukmin lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” (QS. Al Ahzab: 59)
Ditambah lagi dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Abdullah bin Mas’ud,
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki.” (HR. Tirmidzi no. 1173. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Keenam: Wanita Hendaklah Betah Tinggal Di Rumah
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu” (QS Al Ahzab: 33).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki.” (HR. Tirmidzi no. 1173, shahih)
Dalam ajaran Islam pun, shalat wanita lebih baik di rumah. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا
Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada shalatnya di kamarnya, dan shalat seorang wanita di rumahnya yang kecil lebih utama baginya daripada dirumahnya.” (HR. Abu Daud no. 570. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Ummu Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ
Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah diam di rumah-rumah mereka.” (HR. Ahmad 6/297. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya)
Ketujuh: Hendaklah Wanita Menjalani Berbagai Adab Ketika Keluar Rumah
Di antara adab yang mesti diperhatikan oleh wanita adalah:
Pertama: Tidak memakai harum-haruman ketika keluar rumah.
Dari Abu Musa Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ ثُمَّ مَرَّتْ عَلَى الْقَوْمِ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِىَ زَانِيَةٌ
Apabila seorang wanita memakai wewangian, lalu keluar menjumpai orang-orang hingga mereka mencium wanginya, maka wanita itu adalah wanita pezina.” (HR. Ahmad 4/413. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid)
Kedua: Hendaklah wanita benar-benar menutup aurat dengan sempurna ketika memasuki rumah yang terdapat kaum laki-laki
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Sufyan dari Manshur dari Salim bin Abu Al Ja’d dari Abu Al Malih Al Hudzali bahwa para wanita dari penduduk Himsha pernah meminta izin untuk menemui ‘Asiyah, maka dia berkata; “Mungkin kalian adalah para wanita yang suka masuk ke pemandian umum, saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ وَضَعَتْ ثِيَابَهَا فِى غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا فَقَدْ هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ
Wanita mana pun yang meletakkan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka ia telah menghancurkan tirai antara dia dan Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 3750. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketiga: Hendaklah wanita berhias diri dengan sifat malu
Allah Ta’ala berfirman mengenai para wanita yang mendatangi Nabi Musa ‘alaihis salam,
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan.” (QS. Al Qoshshosh: 25)
Keempat: Tidak bercampur baur dengan para pria
Allah Ta’ala menceritakan mengenai dua wanita yang mendatangi Musa,
وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
Dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab, “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya“. (QS. Al Qoshshosh: 23)
Kedelapan: Menghindari Jabat Tangan dengan Lawan Jenis (Yang Bukan Mahrom)
Dari Ma’qil bin Yasar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Lebih baik kepala salah seorang di antara kalian ditusuk dengan jarum dari besi daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thobroni. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat As Silsilah Ash Shohihah 226)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925). Jika kita melihat pada hadits ini, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau bukan mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul: “apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.”[1]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencontohkan tidak menyalami wanita –non mahrom- dalam kondisi yang seharusnya beliau dituntut bersalaman sekalipun semacam baiat.
Telah menceritakan kepadaku Malik dari Muhammad bin Al Munkadir dari Umaimah binti Ruqaiqah berkata; “Aku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika para wanita membaiatnya untuk Islam. Kami mengatakan; ‘Wahai Rasulullah, kami membaiatmu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak mendatangi kejahatan yang telah kami lakukan antara kedua tangan dan kaki kami, dan tidak bermaksiat terhadap anda dalam kebaikan.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menambahkan: “Semampu dan sekuat kalian.” Umaimah berkata, “Kami menyahutnya, “Allah dan Rasul-Nya lebih kami sayangi daripada diri kami. Wahai Rasulullah, kemarilah, kami akan membaiatmu.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلِ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
Sesungguhnya aku tidak akan bersalaman dengan wanita. Perkataanku terhadap seratus wanita adalah seperti perkataanku terhadap seorang wanita, atau seperti perkataanku untuk satu wanita.” (HR. Malik 2/982. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Kesembilan: Hendaknya Wanita Meninggalkan Tutur Kata yang Mendayu-dayu
Allah Ta’ala berfirman,
فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al Ahzab: 32) Yang dimaksudkan “janganlah kamu tunduk dalam berbicara”, As Sudi mengatakan, “Janganlah wanita mendayu-dayukan kata-katanya ketika bercakap-cakap dengan kaum pria.”[2]
Inilah beberapa jalan yang jika dijalankan dengan baik akan menjauhkan kita dari pebuatan zina yang keji. Hanya Allah yang memberi taufik bagi siapa saja yang mau merenungkan hal ini.[3]
 ..............................................................................
 [1] Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i, hal. 41, Muassasah Ar Royan
[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 6/409, Dar Thoyibah, cetakan kedua, 1420 H.
[3] Pembahasan ini banyak kami sarikan dari penjelasan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam risalah beliau “Wa laa taqrobuz zinaa”, Daar Majid ‘Asiiri.

Siapakah Mahram Anda?

Segala puji bagi Allah, Rabb pengatur alam semesta. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Mungkin di antara kita ada yang tidak mengetahui apa itu mahrom dan siapa saja yang termasuk mahromnya. Padahal mahrom ini berkaitan dengan banyak masalah. Seperti tidak bolehnya wanita bepergian jauh (bersafar) kecuali dengan mahromnya. Tidak boleh seorang laki-laki dengan wanita berduaan kecuali dengan mahromnya. Wanita dan pria tidak boleh jabat tangan kecuali itu mahromnya. Dan masih banyak masalah lainnya.
Yang dimaksud mahrom adalah wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki. Mengenai mahrom ini telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An Nisa’: 22-24)
Mahrom di sini terbagi menjadi dua macam:  Mahrom muabbad, artinya tidak boleh dinikahi selamanya; dan Mahrom muaqqot, artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal. Berikut kami rinci secara ringkas.
Mahrom Muabbad
Mahrom muabbad dibagi menjadi tiga: [1] Karena nasab, [2] Karena ikatan perkawinan (mushoharoh), [3] Karena persusuan (rodho’ah).
[1] Mahrom muabbad karena nasab ada tujuh wanita:
Pertama: Ibu.
Yang termasuk di sini adalah ibu kandungnya, ibu dari ayahnya, dan neneknya (dari jalan laki-laki atau perempuan) ke atas.
Kedua: Anak perempuan.
Yang termasuk di sini adalah anak perempuannya, cucu perempuannya dan terus ke bawah.
Ketiga: Saudara perempuan.
Keempat: Bibi dari jalur ayah (‘ammaat)
Yang dimaksud di sini adalah saudara perempuan dari ayahnya ke atas. Termasuk di dalamnya adalah bibi dari ayahnya atau bibi dari ibunya.
Kelima: Bibi dari jalur ibu (khollaat)
Yang dimaksud di sini adalah saudara perempuan dari ibu ke atas. Termasuk di dalamnya adalah saudara perempuan dari ibu ayahnya.
Keenam dan ketujuh: Anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan (keponakan).
Yang dimaksud di sini adalah anak perempuan dari saudara laki-laki atau saudara perempuannya, dan ini terus ke bawah.
[2] Mahrom muabbad karena ikatan perkawinan (mushoro’ah) ada empat wanita:
Pertama: Istri dari ayah.
Kedua: Ibu dari istri (ibu mertua). Ibu mertua ini menjadi mahrom selamanya (muabbad) dengan hanya sekedar akad nikah dengan anaknya (tanpa mesti anaknya disetubuhi), menurut mayoritas ulama. Yang termasuk di dalamnya adalah ibu dari ibu mertua dan ibu dari ayah mertua.
Ketiga: Anak perempuan dari istri (robibah). Ia bisa jadi mahrom dengan syarat si laki-laki telah menyetubuhi ibunya. Jika hanya sekedar akad dengan ibunya namun belum sempat disetubuhi, maka boleh menikahi anak perempuannya tadi. Yang termasuk mahrom juga adalah anak perempuan dari anak perempuan dari istri dan anak perempuan dari anak laki-laki dari istri.
Keempat: Istri dari anak laki-laki (menantu). Yang termasuk mahrom juga adalah istri dari anak persusuan.
[3] Mahrom muabbad karena persusuan (rodho’ah):
  1. Wanita yang menyusui dan ibunya.
  2. Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
  3. Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
  4. Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara persusuan).
  5. Ibu dari suami dari wanita yang menyusui.
  6. Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
  7. Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).
  8. Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
  9. Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui.
Adapun jumlah persusuan yang menyebabkan mahrom adalah lima persusuan atau lebih. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Atho’ dan Thowus. Pendapat ini juga adalah pendapat Aisyah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Zubair.

Mahrom Muaqqot
Artinya, mahrom (dilarang dinikahi) yang sifatnya sementara. Wanita yang tidak boleh dinikahi sementara waktu ada delapan.
Pertama: Saudara perempuan dari istri (ipar).
Tidak boleh bagi seorang pria untuk menikahi saudara perempuan dari istrinya dalam satu waktu berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika istrinya meninggal dunia atau ditalak oleh si suami, maka setelah itu ia boleh menikahi saudara perempuan dari istrinya tadi.
Kedua: Bibi (dari jalur ayah atau ibu) dari istri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak boleh seorang wanita dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu) -nya.” (HR. Muslim no. 1408)
Namun jika istri telah dicerai atau meninggal dunia, maka laki-laki tersebut boleh menikahi bibinya.
Ketiga: Istri yang telah bersuami dan istri orang kafir jika ia masuk Islam.
Allah Ta’ala berfirman,

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.” (QS. An Nisa’: 24)
Jika seorang wanita masuk Islam dan suaminya masih kafir (ahli kitab atau agama lainnya), maka keislaman wanita tersebut membuat ia langsung terpisah dengan suaminya yang kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Keempat: Wanita yang telah ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh suaminya yang dulu sampai ia menjadi istri dari laki-laki lain.
Allah Ta’ala berfirman,
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” (QS. Al Baqarah: 230)
Kelima: Wanita musyrik sampai ia masuk Islam.
Allah Ta’ala berfirman,

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al Baqarah: 221)
Yang dikecualikan di sini adalah seorang laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Ini dibolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS. Al Maidah: 5)
Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab atau laki-laki kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Keenam: Wanita pezina sampai ia bertaubat dan melakukan istibro’ (pembuktian kosongnya rahim).
Tidak boleh menikahi wanita pezina kecuali jika terpenuhi dua syarat:
(a) Wanita tersebut bertaubat.
Allah Ta’ala berfirman,

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” (QS. An Nur: 3)
Dengan taubat-lah yang akan menghilangkan status sebagai wanita pezina. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
”Orang yang bertaubat dari suatu dosa seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa itu sama sekali.” (HR. Ibnu Majah no. 4250. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
(b) Istibro’ yaitu menunggu satu kali haidh atau sampai bayi dalam kandungannya lahir. Inilah pendapat Imam Ahmad dan Imam Malik. Inilah yang lebih tepat.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Wanita hamil tidaklah disetubuhi hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil istibro’nya (membuktikan kosongnya rahim) sampai satu kali haidh.” (HR. Abu Daud no. 2157. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketujuh: Wanita yang sedang ihrom sampai ia tahallul.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikahkan, dinikahkan dan meminang.” (HR. Muslim no. 1409, dari ‘Utsman bin ‘Affan)
Kedelapan: Tidak boleh menikahi wanita kelima sedangkan masih memiliki istri yang keempat.
Allah Ta’ala berfirman,

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” (QS. An Nisa’: 3)
Bagi kaum muslimin dilarang menikahi lebih dari empat istri. Kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh menikahi lebih dari empat istri dan boleh menikah tanpa mahar.
Inilah pembahasan singkat mengenai mahrom. Semoga bermanfaat. Wa billahit taufiq. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik hafizhohullah, 3/76-96, Al Maktabah At Taufiqiyah.