Senin, 05 Maret 2012

Perempuan, Mengapa Ikut Korupsi ? ?

Awalnya, misi peringatan Hari Ibu yg jatuh pada tanggal 22 desember  lebih pada untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini, yang  tercermin dari semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama membangun bangsa ini.

Kaum perempuan itu terinspirasi dari tokoh-tokoh pejuang perempuan dalam membebaskan bangsa ini dari kungkungan penjajah bangsa lain, sebut saja Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain. Mereka adalah kaum perempuan sekaligus para ibu yang berjasa mengabdikan dirinya dalam perjuangan bangsa.

Seiring berjalannya waktu dan kehidupan yang makin modern. Posisi kaum perempuan di negeri ini makin kuat, dan mereka bebas berkiprah dalam berbagai aktivitas dan profesi. Tapi belakangan ini, sejarah perjuangan kaum perempuan dan prestasi yang sudah begitu banyak diraih kaum perempuan di negeri ini, seolah tercoreng dengan kelakukan segelintir kaum perempuan yang karena ambisinya jadi menghalalkan segala cara.

Pemberitaan media massa sejak akhir pekan kemarin diramaikan dengan berita seputar Nunun Nurbaeti, buronan kasus korupsi yang akhirnya tertangkap di Thailand dan dibawa pulang ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pelarian Nunun selama 8 bulan berujung di Rutan Pondok Bambu. Pengusaha yang juga istri mantan wakalpolri itu tersandung kasus dugaan suap cek pelawat untuk meloloskan Miranda Gultom dalam proses pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. Bersama Nunun, ikut tersangkut 30 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam kasus tersebut.

Tertangkapnya Nunun, menambah daftar panjang perempuan yang tersandung kasus korupsi di Indonesia. Selain Nunun, ada nama Artalyta Suryani, Malinda Dee, Mindo Rosalina Manulang, dan beberapa nama lainnya yang beritanya sempat menghiasi media cetak dan elektronik karena terlibat kasus suap

Data Police Watch menyebutkan, Tahun 2008, dari 22 koruptor yang ditangkap, dua diantaranya perempuan. Tahun 2011, jumlahnya meningkat,  ada tujuh perempuan yang ditangkap karena kasus korupsi. Para perempuan ini, menurut Police Watch memainkan peranan kunci dalam praktik mafia  hukum dan menjadi operator untuk mengamankan koruptor dari jeratan hukum.

Kita tidak perlu mengulas kasus korupsinya, tapi mengamati makin banyak kaum perempuan yang terlibat kasus-kasus korupsi, pernahkah terlintas rasa prihatin dan gundah di hati kita? Di luar angka yang diungkap lembaga swadaya masyarakat itu, mungkin jumlah kaum perempuan yang terlibat korupsi lebih banyak lagi. Karena yang namanya korupsi tidak harus melibatkan sejumlah dana fantastis seperti kasus-kasus besar yang menjadi pemberitaan media massa.

Tanpa bermaksud memukul rata terhadap semua perempuan, kita pun bertanya inikah gambaran kaum perempuan modern zaman sekarang? Di saat sebagian kaum perempuan masih berjuang keras untuk memperjuangkan hak-haknya, di sisi lain kaum perempuan sudah banyak yang menikmati kesetaraan gender dan menduduki jabatan strategis, tapi mengapa ada perempuan yang mudah tergoda untuk melakukan praktik-praktik korupsi?

Perempuan dengan berbagai atribut yang disandangnya, sebagai ibu rumah tangga, sebagai pendamping suami, sebagai pendidik anak-anak di rumah, atau sebagai apapun profesinya, seharusnya justru bisa berperan sebagai ujung tombak perang melawan korupsi yang sudah mengurat akar di negara ini.

Kaum perempuan selayaknya mampu memberi teladan dan menjadi sosok yang dibanggakan bukan cuma oleh keluarganya, tapi juga lingkungan serta bangsa dan negaranya dalam lingkup yang luas. Namun godaan "lain"  atau "desakan keadaan" nampaknya lebih kuat sehingga ada kaum perempuan yang secara suka rela atau mungkin terpaksa melakukan korupsi. Apapun alasannya, sulit membenarkan tindakan semacam itu.

Sebuah hasil penelitian tentang Perempuan dan Korupsi yang dilakukan Bank Dunia tahun 1999 menyebutkan, hasrat untuk menerima suap atau melakukan korupsi di kalangan kaum perempuan ternyata lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki. Atas dasar penelitian itu, Bank Dunia merekomendasikan agar semua negara memberikan peluang yang lebih besar bagi kaum perempuan untuk duduk sebagai anggota parlemen, karena keberadaan mereka berpotensi besar untuk menurukan tingkat korupsi. Perempuan diyakini bisa mengendalikan laki-laki agar tidak gelap mata dan salah langkah melakukan tindak korupsi.

Tapi sepertinya  teori itu tidak terbukti. Faktanya, melihat kasus di Indonesia, makin banyak kaum perempuan yang tersandung kasus korupsi. Sungguh ironis, mengingat kaum perempuan adalah "ibu" bangsa. Bukankah ada kata bijak yang mengatakan, dari ibu-ibu yang baik--yang notabene dari kaum perempuan--akan lahir anak-anak yang baik dan akan terciptalah bangsa yang baik pula.

Lantas bagaimana nasib bangsa ini, jika kaum perempuannya, jika para ibunya mudah tergoda untuk melakukan korupsi, yang sama artinya menggunakan uang haram untuk keluarganya. Kita semua tahu, apapun yang masuk ke tubuh kita, jika mengandung hal-hal yang haram, tidak akan membawa keberkahan.

Di tengah godaan dan gaya hidup hedonis seperti sekarang ini, kaum perempuan, terutama yang berada di lingkungan yang rawan terjadinya suap dan korupsi, harus mampu melindungi dirinya sendiri.  Karena pada dasarnya, hanya kekuatan hati dan iman yang mampu membentengi diri seseorang dari godaan korupsi yang dari sisi materi kadang menggiurkan.

Semoga tak bertambah lagi kaum perempuan di negeri ini yang harus jadi bulan-bulanan polisi dan media massa karena tersangkut masalah korupsi.  Tidak perlu lagi ada perempuan yang sampai harus meninggalkan suami dan anak-anaknya hanya demi menghindari jeratan hukum. Jadilah perempuan yang ikut melawan korupsi, dan bukan yang menjadi bagian dari korupsi. (catatan fb , lihat catatan fb tgl 22 des,2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar