Awalnya, misi peringatan Hari Ibu yg jatuh pada tanggal 22 desember
lebih pada untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam
upaya perbaikan kualitas bangsa ini, yang tercermin dari semangat kaum
perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja
bersama membangun bangsa ini.
Kaum perempuan itu
terinspirasi dari tokoh-tokoh pejuang perempuan dalam membebaskan bangsa
ini dari kungkungan penjajah bangsa lain, sebut saja Cut Nya Dien, Cut
Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan,
Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain. Mereka adalah kaum perempuan
sekaligus para ibu yang berjasa mengabdikan dirinya dalam perjuangan
bangsa.
Seiring berjalannya waktu dan kehidupan yang makin
modern. Posisi kaum perempuan di negeri ini makin kuat, dan mereka
bebas berkiprah dalam berbagai aktivitas dan profesi. Tapi belakangan
ini, sejarah perjuangan kaum perempuan dan prestasi yang sudah begitu
banyak diraih kaum perempuan di negeri ini, seolah tercoreng dengan
kelakukan segelintir kaum perempuan yang karena ambisinya jadi
menghalalkan segala cara.
Pemberitaan media massa sejak
akhir pekan kemarin diramaikan dengan berita seputar Nunun Nurbaeti,
buronan kasus korupsi yang akhirnya tertangkap di Thailand dan dibawa
pulang ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pelarian
Nunun selama 8 bulan berujung di Rutan Pondok Bambu. Pengusaha yang
juga istri mantan wakalpolri itu tersandung kasus dugaan suap cek
pelawat untuk meloloskan Miranda Gultom dalam proses pemilihan Deputi
Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. Bersama Nunun, ikut tersangkut 30
orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam kasus tersebut.
Tertangkapnya
Nunun, menambah daftar panjang perempuan yang tersandung kasus korupsi
di Indonesia. Selain Nunun, ada nama Artalyta Suryani, Malinda Dee,
Mindo Rosalina Manulang, dan beberapa nama lainnya yang beritanya sempat
menghiasi media cetak dan elektronik karena terlibat kasus suap
Data
Police Watch menyebutkan, Tahun 2008, dari 22 koruptor yang ditangkap,
dua diantaranya perempuan. Tahun 2011, jumlahnya meningkat, ada tujuh
perempuan yang ditangkap karena kasus korupsi. Para perempuan ini,
menurut Police Watch memainkan peranan kunci dalam praktik mafia hukum
dan menjadi operator untuk mengamankan koruptor dari jeratan hukum.
Kita
tidak perlu mengulas kasus korupsinya, tapi mengamati makin banyak kaum
perempuan yang terlibat kasus-kasus korupsi, pernahkah terlintas rasa
prihatin dan gundah di hati kita? Di luar angka yang diungkap lembaga
swadaya masyarakat itu, mungkin jumlah kaum perempuan yang terlibat
korupsi lebih banyak lagi. Karena yang namanya korupsi tidak harus
melibatkan sejumlah dana fantastis seperti kasus-kasus besar yang
menjadi pemberitaan media massa.
Tanpa bermaksud memukul
rata terhadap semua perempuan, kita pun bertanya inikah gambaran kaum
perempuan modern zaman sekarang? Di saat sebagian kaum perempuan masih
berjuang keras untuk memperjuangkan hak-haknya, di sisi lain kaum
perempuan sudah banyak yang menikmati kesetaraan gender dan menduduki
jabatan strategis, tapi mengapa ada perempuan yang mudah tergoda untuk
melakukan praktik-praktik korupsi?
Perempuan dengan
berbagai atribut yang disandangnya, sebagai ibu rumah tangga, sebagai
pendamping suami, sebagai pendidik anak-anak di rumah, atau sebagai
apapun profesinya, seharusnya justru bisa berperan sebagai ujung tombak
perang melawan korupsi yang sudah mengurat akar di negara ini.
Kaum
perempuan selayaknya mampu memberi teladan dan menjadi sosok yang
dibanggakan bukan cuma oleh keluarganya, tapi juga lingkungan serta
bangsa dan negaranya dalam lingkup yang luas. Namun godaan "lain" atau
"desakan keadaan" nampaknya lebih kuat sehingga ada kaum perempuan yang
secara suka rela atau mungkin terpaksa melakukan korupsi. Apapun
alasannya, sulit membenarkan tindakan semacam itu.
Sebuah
hasil penelitian tentang Perempuan dan Korupsi yang dilakukan Bank Dunia
tahun 1999 menyebutkan, hasrat untuk menerima suap atau melakukan
korupsi di kalangan kaum perempuan ternyata lebih rendah dibandingkan
dengan kaum laki-laki. Atas dasar penelitian itu, Bank Dunia
merekomendasikan agar semua negara memberikan peluang yang lebih besar
bagi kaum perempuan untuk duduk sebagai anggota parlemen, karena
keberadaan mereka berpotensi besar untuk menurukan tingkat korupsi.
Perempuan diyakini bisa mengendalikan laki-laki agar tidak gelap mata
dan salah langkah melakukan tindak korupsi.
Tapi
sepertinya teori itu tidak terbukti. Faktanya, melihat kasus di
Indonesia, makin banyak kaum perempuan yang tersandung kasus korupsi.
Sungguh ironis, mengingat kaum perempuan adalah "ibu" bangsa. Bukankah
ada kata bijak yang mengatakan, dari ibu-ibu yang baik--yang notabene
dari kaum perempuan--akan lahir anak-anak yang baik dan akan terciptalah
bangsa yang baik pula.
Lantas bagaimana nasib bangsa ini,
jika kaum perempuannya, jika para ibunya mudah tergoda untuk melakukan
korupsi, yang sama artinya menggunakan uang haram untuk keluarganya.
Kita semua tahu, apapun yang masuk ke tubuh kita, jika mengandung
hal-hal yang haram, tidak akan membawa keberkahan.
Di
tengah godaan dan gaya hidup hedonis seperti sekarang ini, kaum
perempuan, terutama yang berada di lingkungan yang rawan terjadinya suap
dan korupsi, harus mampu melindungi dirinya sendiri. Karena pada
dasarnya, hanya kekuatan hati dan iman yang mampu membentengi diri
seseorang dari godaan korupsi yang dari sisi materi kadang menggiurkan.
Semoga
tak bertambah lagi kaum perempuan di negeri ini yang harus jadi
bulan-bulanan polisi dan media massa karena tersangkut masalah korupsi.
Tidak perlu lagi ada perempuan yang sampai harus meninggalkan suami dan
anak-anaknya hanya demi menghindari jeratan hukum. Jadilah perempuan
yang ikut melawan korupsi, dan bukan yang menjadi bagian dari korupsi. (catatan fb , lihat catatan fb tgl 22 des,2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar