Sabtu, 28 Juli 2012

Perintah bhw wanita tetap tinggal dirumah


Di antara perintah Allah kepada wanita muslimah adalah perintah untuk tinggal dan menetap di rumah-rumah mereka. Sebuah perintah yang banyak mengandung hikmah dan maslahat. Tidak hanya bagi wanita itu sendiri, namun juga mengandung kemaslahatan bagi umat.

Wahai  muslimah  renungkanlah firman dari Rabbmu berikut ini. Rabb yang telah menciptakanmu, yang paling tahu tentang kemaslahatan bagimu. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al Ahzab: 33).


Imam Ibnu Katsir rahimahullah  menjelaskan bahwa makna ayat di atas artinya tetaplah di rumah-rumah kalian dan janganlah keluar tanpa ada kebutuhan. Termasuk kebutuhan syar’i yang membolehkan wanita keluar rumah adalah untuk shalat  di masjid dengan syarat-syarat tertentu, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :‘Janganlah kalian melarang istri-istri dan anak-anak kalian dari masjid Allah. Namun, hendaklah mereka keluar dalam keadaan berjilbab.’ Dan dalam riwayat lain disebutkan : ‘Dan rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.” (TafsirAl Qur’an Al Adzim tafsirsurat Al Ahzab ayat 33)

Yang perlu dipahami bahwa perintah dalam ayat di atas tidak hanya terbatas pada istri-istri nabi saja, tetapi juga berlaku untuk seluruh kaum wanita  muslimah. Imam Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan : “Semua ini merupakan adab dan tata krama yang Allah Ta’ala perintahkan kepada para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun kaum wanita umat ini seluruhnya sama juga dengan mereka dalam hukum masalah ini.” (Tafsir Al Qur’an Al Adzim surat Al Ahzab 33).
Saudariku  muslimah perhatikanlah. Perintah untuk tinggal di dalam rumah ini datang dari Dzat Yang Maha Memiliki Hikmah, Dzat yang lebih tahu tentang perkara yang memberikan maslahat bagi hamba-hamba-Nya. Ketika Dia menetapkan wanita harus berdiam dan tinggal di rumahnya, Dia sama sekali tidak berbuat zalim kepada wanitabahkan ketetapan-Nya itu sebagai tanda akan kasih sayang-Nya kepada para hamba-Nya.

Tanggung Jawab utama Wanita adlh Rumah Tangganya



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pemimpin negara adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota  keluarga  suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari 893 dan Muslim 1829).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan : Seorang istri merupakan pemimpin yang menjaga  di rumah suaminya dan akan ditanya tentang penjagaanya. Maka wajib baginya untuk mengurusi rumah dengan baik, seperti dalam memasak, menyiapkan minum seperti kopi dan teh, serta mengatur tempat tidur. Janganlah ia memasak melebihi dari yang semestinya. Jangan pula ia membuat teh lebih dari yang dibutuhkan. Ia harus menjadi seorang wanita yang bersikap pertengahan, tidak bersikap kurang dan tidak berlebih-lebihan, karena sikap pertengahan adalah separuh dari penghidupan. Tidak boleh melampaui batas dalam apa yang tidak sepantasnya. Istri juga memiliki tanggung jawab terhadap anak-anaknya dalam mengurus dan memperbaiki urusan mereka, seperti dalam hal memakaikan pakaian, melepaskan pakaian yang kotor, merapikan tempat tidur, serta memerhatikan penutup tubuh mereka di musim dingin. Setiap wanita akan ditanya tentang semua itu. Dia akan ditanya tentang urusan memasak, dan  ia akan ditanya tentang seluruh apa yang ada di dalam rumahnya.” (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin II/133-134)

Dengan demikian, tugas seorang istri selaku pendamping suami dan ibu bagi anak-anaknya adalah memegang amanah sebagai pengatur urusan dalam rumah suaminya serta anak-anaknya. Dia kelak akan ditanya tentang kewajibannya tersebut. Inilah peran penting seorang wanita  sebagai pengatur rumah tangganya. Wanita sudah memiliki amanah dan tugas tersendiri yang harus dipikulnya dengan sebaik-baiknya. Yang menetapkan amanah dan tugas tersebut adalah manusia yang paling mulia, paling berilmu, dan paling bertakwa kepada Allah yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidaklah menetapkan syariat dari hawa nafsunya, semuanya adalah wahyu yang Allah wahyukan kepada beliau

Muslimah terbaik tinggalnya di rumah




Islam adalah agama yang adil. Allah menciptakan bentuk fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria diberikan kelebihan oleh Allah Ta’ala baik fisik maupun mental dibandingkan kaum wanita sehingga pantas kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita. Allah Ta’ala berfirman:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) (QS. An Nisa’: 34)

Pada asalnya, kewajiban mencari nafkah bagi keluarga merupakan tanggung jawab kaum lelaki. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami dan istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya menjalankan perannya masing-masing  sehingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka, serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, dan mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya, berarti ia telah menyia-nyiakan rumah serta para penghuninya. Hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan dalam keluarga  baik secara hakiki maupun maknawi. (Khatharu Musyarakatil Mar’ah li  Rijal fil Maidanil Amal).

Para wanita muslimah hendaknya jangan tertipu dengan teriakan orang-orang yang menggembar-gemborkan isu kesetaraan gender sehingga timbul rasa minder terhadap wanita-wanita karir dan merasa rendah diri dengan menganggur di rumah. Padahal banyak pekerjaan mulia yang bisa dilakukan di rumah.  Di rumah ada suami yang harus dilayani dan ditaati. Ada juga  anak-anak yang harus ditarbiyah dengan baik. Ada harta suami yang harus diatur dan dijaga sebaik-baiknya. Ada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang butuh penanganan dan pengaturan. Semua ini pekerjaan yang mulia dan berpahala di sisi Allah Ta’ala. Para wanita muslimah  harus ingat bahwa kelak  pada hari kiamat mereka akan ditanya tentang amanah tersebut yang dibebankan kepadanya.
Namun demikian, jika dalam kondisi tertentu menuntut wanita  untuk mencari nafkah, diperbolehkan baginya keluar rumah untuk bekerja, namun harus memperhatikan adab-adab keluar rumah sehingga tetap terjaga kemuliaan serta kesucian harga dirinya.

Ibu rmh tangga Pendidik Generasi Shalih dan Shalihah



Tugas besar seorang wanita yang juga penting adalah mendidik anak-anak. Minimnya perhatian dan kelembutan seorang ibu yang tersita waktunya untuk aktifitas di luar rumah, sangat berpengaruh besar pada perkembangan jiwa dan pendidkan mereka. Terlebih jika keperluan anak dan suaminya justru diserahkan kepada pembantu. Jika demikian, lalu bagaimanakah tanggung jawab wanita untuk menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak-anak mereka?

Sebagian orang juga mendengung-dengungkan bahwa wanita jangan dikungkung dalam rumahnya, karena membiarkan wanita berada di dalam rumah berarti membuang separuh dari potensi sumber daya manusia. Biarkan wanita berperan dalam masyarakatnya, keluar rumah bekerja sama dengan para lelaki untuk membangun negerinya dalam berbagai bidang kehidupan. Demikian ucapan yang mereka lontarkan.

Ketahuilah , Islam agama yang datang untuk kemaslahatan umat justru memberi pekerjaan yang mulia kepada wanita muslimah Mereka  di antaranya diberi tanggung jawab untuk mendidik anak-anak mereka. Sebuah tanggung jawab yang tidak ringan, sumbangsih yang besar bagi perbaikan umat. Betapa banyak generasi shalih dan shalihah muncul dari tarbiyah yang dilakukan oleh para wanita. Melalui tarbiyah yang baik mereka mencetak generasi umat Islam yang shalih dan shalilah. Hal itu bisa terwujud jika mereka langsung terjun untuk mendidik anak-anak mereka. Namun kita saksikan pula, betapa banyak anak-anak yang berakhlak bejat yang tidak pernah mendapat pendidikan di rumahnya. Hal itu disebabkan orang tua tidak mendidik mereka secara langsung. Peran orangtua yang dominan dalam mendidik anak berada di pundak para wanita  karena laki laki mempunyai tugas lain yaitu untuk mencari nafkah.  Dengan demikian, pendidikan di rumah  merupakan salah satu tanggung  jawab yang besar bagi seorang muslimah

Peran Wanita Walaupun Tetap Tinggal di Rumahnya



Dengan tetap tinggal di rumah , bukan berarti wanita tidak bisa ikut andil dalam perbaikan umat. Posisi wanita sebagai sang istri atau ibu rumah tangga memilki arti yang sangat penting bagi perbaikan masyarakatnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘ Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:

Pertama: Perbaikan secara dhahir. Hal ini bisa di lakukan di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara yang nampak.  Ini didominasi oleh kaum laki-laki karena merekalah yang bisa keluar untuk melakukannya.

Kedua: Perbaikan masyarakat yang dilakukan dari dalam rumah. Hal ini dilakukan di dalam rumah dan merupakan tugas kaum wanita. Karena merekalah yang sangat berperan sebagai pengatur dalam rumahnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :

“Tetaplah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj (berpenampilan) sebagaimana penampilannya orang-orang jahiliyah yang pertama.” (Al Ahzab: 33)
Oleh karena itu  peran dalam  perbaikan masyarakat separuhnya atau bahkan mayoritasnya tergantung kepada wanita. Hal ini disebabkan dua alasan:
1. Jumlah kaum wanita sama dengan laki-laki, bahkan lebih banyak kaum wanita.  Keturunan Adam mayoritasnya adalah wanita sebagamana hal ini ditunjukkan oleh As Sunah  An Nabawiyah. Akan tetapi hal ini tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu jaman dengan jaman lain. Terkadang di suatu negeri jumlah kaum wanita lebih dominan dari pada jumlah lelaki atau sebaliknya.  Intinya, wanita memiliki peran yang sangat besar dalam perbaikan masyarakat.
2. Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada dibawah asuhan wanita. Sehingga sangat jelaslah peran wanita dalam perbaikan masyarakat. (Lihat Daurul Mar’ah Fi Ishlahil Mujtama’)


Ibadah Wanita di Dalam Rumah



Dengan berdiam di rumah, bukan berarti wanita tidak  bisa melaksanakan aktifitas ibadah. Banyak ibadah yang bisa dilakukan di rumah seperti shalat, puasa , membaca Al Qur’an, berdizkir, dan ibadah-ibadah lainnya. Bahkan Sebaik-baik shalat bagi wanita adalah di rumahnya. Dari Ummu Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah diam di rumah-rumah mereka.” (HR. Ahmad 6/297. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa   hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya).
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada shalatnya di pintu-pintu rumahnya, dan shalat seorang wanita di ruang kecil khusus untuknya lebih utama baginya daripada di bagian lain di rumahnya” (HR. Abu Dawud 570. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Shalat wanita di rumah adalah pengamalan dari perintah Allah agar wanita diam di rumah. Namun demikian, jika wanita ingin melaksanakan shalat berjamaah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutupi aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang. Dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin ‘Umar berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia” (HR. Muslim 442).
Bahkan dengan tetap tinggal di rumahnya, wanita bisa mendapatkan pahala yang banyak Aktifitas hariannya di dalam rumah bisa bernilai pahala. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, dia mengatakan :
Seorang wanita datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata : “Wahai Rasulullah, laki-laki memiliki keutamaan dan mereka juga berjihad di jalan Allah. Apakah bagi kami kaum wanita bisa mendapatkan amalan orang yang jihad di jalan Allah? Rasulullah bersabda : “ Brangsiapa di antara kalian yang tinggal di rumahnya  maka dia mendapatkan pahala mujahid di jalan Allah.” (Lihat tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim surat Al Ahzab 33)

Adab Keluar Rumah bagi Muslimah



walaupun syariat menetapkan engkau harus tinggal di rumah, namun bila ada kebutuhan, dibolehkan bagi wanita untuk keluar rumah dengan memperhatikan adab-adab berikut ini:

Pertama. Memakai hijab syar’i yang menutup aurat.

Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanitanya kaum mukminin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu” (Al Ahzab: 59)

Kedua. Jangan memakai wangi-wangian.

Dilarang memakai wewangian ketika keluar rumah. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka janganlah dia menghadiri  shalat Isya’ bersama kami” (HR. Muslim 444).

Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melewati sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang wanita pezina” (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 323)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:ا
“Setiap mata itu berzina. Bila seorang wanita memakai wewangian kemudian ia melewati kumpulan laki-laki laki-laki (yang bukan mahramnya) maka wanita itu begini dan begitu.” (HR. Tirmidzi  2937. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi  2237)

“Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian ia melewati satu kaum agar mereka mencium wanginya, maka wanita itu pezina.” (HR Ahmad 4/414, dihasankan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’us Shahih 4/311)

Ketiga. Berjalan dengan sopan

Ketika berjalan, tidak dengan menggesek-gesekkan sandal/sepatu dengan sengaja dan jangan pula menghentak-hentakkan kaki agar terdengar suara gelang kaki, karena Allah Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah mereka (para wanita) memukulkan kaki-kaki mereka ketika berjalan agar diketahui apa yang disembunyikan dari perhiasan mereka.” (An Nur: 31)
Jangan pula engkau berlenggak lenggok ketika berjalan sehingga mengundang pandangan lelaki karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan:

“Wanita itu aurat maka bila ia keluar rumah syaitan menyambutnya.” (HR. Tirmidzi 1183, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil 273)

Keempat. Hendaklah keluar rumah dengan seizin suami.

Apabila telah menikah, wanita harus minta izin kepada suami ketika keluar rumah , termasuk ketika pergi ke masjid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Bukhari 873 dan Muslim 442)

Kelima. Jika bepergian jauh harus bersama mahram.

Bila jarak perjalanan yang ditempuh adalah jarak safar maka wanita harus didampingi mahram karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak boleh seorang wanita safar kecuali bersama mahramnya.” (HR. Muslim 1341)

Keenam. Menjaga pandangan dan merendahkan suara

Hendaklah pandangan mata, jangan mengarahkan pandangan ke kiri dan ke kanan kecuali bila ada kebutuhan, karena Allah Ta’ala berfirman:

“Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminat: Hendaklah mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka…” (An Nur: 31)
Apabila berjalan bersama sesama wanita sementara di sana ada lelaki, hendaklah jangan berbicara yang mengundang fitnah.  Demikianlah yang Allah Ta’ala perintahkan dalam firman-Nya:

“Maka janganlah kalian melembut-lembutkan suara ketika berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al Ahzab: 32)
Saudariku muslimah demikianlah beberapa adab Islami yang sepatutnya diperhatikan saat keluar dari rumah. Sungguh kemuliaan akan diraih bila senantiasa berpegang dengan adab yang diajarkan agama Islam. Sebaliknya kehinaan akan terjadi ketika ajaran agama telah jauh ditinggalkan.


Wahai Muslimah renungkanlah! Betapa banyak pahala yang melimpah meskipun kalian tetap tinggal di rumah. Betapa banyak pula tugas-tugas mulia yang bisa dilakukan di dalam rumah. Melaksanakan ibadah di rumah, mengurus rumah tangga, mendidik anak menjadi genarasi shalihah, dan kegiatan lain yang bernilai pahala. Tidak ada profesi yang lebih mulia bagi wanitaselain tinggal di rumahnya untuk menjadi ibu rumah tangga.
Wallahu a’lam. Wa shallallah ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

Kamis, 26 Juli 2012

Perempuan Mulia

Perempuan dalam industri kapitalis makin telanjang. Tak afdhal rasanya tanpa memasang tubuh molek mereka, baik dalam iklan, musik, sinetron maupun film. Perempuan dalam ideologi kapitalis memang begitu direndahkan. Hanya dinilai dari kemolekan tubuhnya, dieksploitasi setiap inchi tubuhnya demi rupiah. Makin seksi, makin berani buka-bukaan, makin menggiurkan bayarannya.

Berjejalanlah kaum perempuan untuk antre dieksploitasi. Hal ini mengundang kesimpulan, lenyapnya harga diri mereka. Sayangnya, sebagian juga Muslimah. Ini terjadi karena rendahnya kesadaran kaum perempuan akan harkat dan martabat dirinya. Mereka sudah termakan racun ideologi kapitalis yang mendefinisikan perempuan ideal sebagai: perempuan mandiri, bebas berekspresi dan menjunjung tinggi hak asasi.

Perempuan seperti ini memahami kebahagiaan dari materi. Mereka memandang kecantikan dan kemolekan tubuhnya sebagai aset berharga yang harus dimanfaatkan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia.

Tentu saja, pihak yang merendahkan perempuan, sejatinya memiliki harga diri lebih rendah. Ya, pengeksploitasi tubuh perempuan adalah manusia hina, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka adalah pihak yang suka mempermainkan perempuan, menjadikannya barang mainan. Mereka bukanlah orang yang pantas dihargai, karena tidak menghargai perempuan.

Mereka lupa bahwa ibu, istri, nenek, adik atau kakak mereka perempuan. Bahkan di antara mereka juga punya anak perempuan. Relakah jika para perempuan suci di sekelilingnya itu dieksploitasi? Relakah bila ibu, istri atau anak gadis mereka sendiri ditelanjangi dan ditonton jutaan mata? Orang tak waras saja yang menjawab iya.
Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda yang artinya: “tidak akan memuliakan perempuan kecuali lelaki yang mulia, tidak merendahkan perempuan kecuali lelaki yang rendah pula.”


Ironisnya, para pejuang harkat dan martabat perempuan diam saja menyaksikan proses eksploitasi besar-besaran terhadap kaumnya. Mereka justru berteriak nyaring jika perempuan diamankan dari keterjerumusan harga dirinya.

Ketika ada upaya umat Muslim untuk melindungi kaum perempuan (Muslimah) dengan pakaian takwa, para aktivis yang mengklaim memperjuangkan hak-hak perempuan itu langsung berteriak: jilbab itu tidak trendy, pengekang aktivitas, simbol budaya Arab, bukan syariat Islam, dan menghambat kebebasan berekspresi. Dihambatlah berbagai regulasi yang berbau Islam, seperti perda yang mewajibkan perempuan menutup aurat dan memberlakukan jam malam untuk perempuan, beberapa waktu lalu.

Sebaliknya, mereka membela model porno, pelaku adegan mesum, dan bahkan pezina seks komersial sebagai profesi. Mereka mencak-mencak kalau perempuan-perempuan itu diusik dari kebebasannya berekspresi.

Demikian pula ketika ada upaya umat Muslim untuk mengembalikan aktivitas perempuan ke rumah, penggiat kesetaraan gender langsung gerah. Mereka segera mempropagandakan kemandirian ekonomi dan pemberdayaan perempuan. Perempuan dilepaskan dari ketergantungan pernafkahannya pada wali atau suami.

Akibatnya, perempuan didorong menghidupi dirinya sendiri dengan berkeliaran di ranah publik. Di sana tubuhnya menjadi terkaman mata para lelaki hidung belang. Pelecehan, perkosaan hingga perzinaan jadi bagian cerita sehari-hari.

Padahal, dengan mendudukkan kembali fungsi dan peran perempuan di rumah, eksploitasi atas tubuh perempuan bisa dihentikan. Jika perempuan memahami kodratnya sebagai wanita baik-baik dengan lebih dominan beraktivitas di rumah, insya Allah tidak ada kesempatan untuk berpose bugil, beradegan mesum, atau berlenggak-lenggok tanpa busana. Tidak akan terjadi buka-bukaan aurat yang menggoda mata nafsu laki-laki yang memang kodratnya harus berkiprah di ranah publik sebagai pencari nafkah.

Lagipula, sejatinya kebahagiaan perempuan adalah di rumah. Ya, setinggi apapun perempuan 'terbang' di ruang publik, pasti 'hinggap' juga ke sarang, yakni rumahnya. Rumah adalah istana terindah bagi kaum perempuan, dengan malaikat-malaikat kecil berupa putra-putrinya yang selalu dirindu.
Ya, perempuan rumahan adalah perempuan mulia. Dia menjaga harga diri, punya rasa malu tinggi, menjaga nama baik diri maupun keluarga. Selayaknya perempuan menjadikan rumah sebagai sumber aktivitasnya.

Memang, tidak dilarang beraktivitas di luar rumah bagi kaum perempuan. Tapi, harus memenuhi syarat-syarat sesuai syariat Islam. Seperti menutup aurat, tidak membahayakan diri, tidak khalwat dan ikhtilat, tidak mengandalkan kemolekan tubuh/tabaruj, bermuamalah yang halal, ditemani mahram bila bepergian lebih dari sehari semalam, dll.

Demikian seharusnya, di manapun berada, Muslimah sejati selalu menjaga harga diri. Ini adalah kewajiban yang tak boleh diabaikan. Haram mengeksploitasi tubuh untuk motif apapun, apalagi sekadar materi

Saatnya kita mensucikan diri di bulan Ramadhan

Hal yang paling menonjol dilakukan kaum Muslim selama bulan Ramadhan adalah tazkiyatun-nafsi (penyucian diri). Ramadhan bahkan sering dijadikan sebagai momentum untuk menyucikan diri.

Secara bahasa, istilah tazkiyah an-nafs merupakan gabungan dari dua kata, yakni tazkiyah dan nafs. Tazkiyah berasal dari kata zakkâ-yuzzaki-tazkiyah, yang maknanya sama dengan tathhîr (dari kata thahhara-yuthahhiru-tathhîr[ah]), yang berarti penyucian, pembersihan, atau pemurnian. (Lihat: Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, 1996, hlm. 469; Lihat juga: ar-Razi, 1995: 1/115). Adapun nafs adalah kata yang multimakna (musytarak). Dalam sebagian kamus bahasa Arab, kata nafs sering diterjemahkan dengan diri, jasad, jiwa, nafsu, ruh, atau kalbu (Lihat: Ibn Manzhur, t.t., 6/234-238).
Perbedaan dalam memaknai kata nafs ini—yang di antaranya dimaknai secara bahasa semata—berimplikasi pada lahirnya perbedaan di dalam memahami konsep tazkiyatun-nafsi. Karena konsep yang dipahami berbeda, maka 'aksi' yang dilakukan dalam rangka tazkiyatun-nafsi juga berbeda-beda meski mengarah pada aktivitas yang sama: bersifat ritual, spiritual dan individual semata. Ini karena nafs sering diartikan sebagai jiwa, sedangkan jiwa sering diidentikkan dengan kalbu, bahkan ruh. Kalbu sendiri sering dipahami sebagai hati/perasaan sehingga istilah 'manajemen kalbu' lebih tampak sebagai 'manajemen perasaan'.

Di sisi lain, ada faktor lain yang lebih dominan dalam memunculkan aktivitas sebagian kaum Muslim dalam upayanya melakukan proses tazkiyah an-nafs yang tampak hanya bersifat ritual, spiritual, dan individual belaka. Faktor yang dimaksud tidak lain adalah dominannya sekulerisme dan sekulerisasi dalam seluruh aspek kehidupan kaum Muslim yang dipaksakan oleh negara.

Akibat sekulerisme dan sekulerisasi, tazkiyatun-nafsi sering bersifat ritual karena yang tampak ke permukaan adalah sebatas praktik memperbanyak ibadah-ibadah ritual seperti shalat dan shaum sunnah, zikir/wirid, dll. Praktik ibadah secara umum seperti muamalat (dalam lingkup sosial, ekonomi, politik, pendidikan, budaya, pemerintahan, hukum, dan keamanan)—yang notanebe juga harus dijalankan sesuai dengan aturan-aturan Allah sebagaimana halnya shalat dan shaum—cenderung diabaikan sama sekali.

Tazkiyatun-nafs juga sering bersifat spiritual karena yang menonjol adalah aspek 'batiniah'-nya semata, tanpa mengaitkannya dengan gerak dan perilaku lahiriah. Bagaimana, misalnya, ada seorang Muslim yang rajin melapalkan dzikir/wirid berjam-jam setiap hari, sementara di luar itu ia tetap menjalankan transaksi riba, diam terhadap berbagai kemungkaran, tidak mau terlibat dalam perjuangan menegakkan syariat Islam, dll? Bagaimana pula, misalnya, ada artis atau selebritis yang begitu merasakan ketentraman dalam melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan, sementara pada saat yang sama ia juga merasa 'tentram' dengan profesinya yang menuntut dirinya melakukan pornografi dan pornoaksi setiap hari dengan memamerkan auratnya, atau merasa 'tenang' dengan pergaulan bebas yang dijalaninya?

Tazkiyatun-nafs juga sering bersifat individual karena yang kerap terjadi sebatas menyentuh hal-hal yang berada dalam wilayah privat, tidak menyentuh wilayah sosial; apalagi wilayah politik, ekonomi, pemerintahan dan hukum.

*****

Di dalam Alquran, ada beberapa pengertian dari tazkiyah an-nafs. Di antaranya adalah:
Pertama, menyucikan diri dari kemusyrikan dan kekufuran: Dialah Yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka… (TQS al-Jumuah [62]: 2).

Menurut Imam ath-Thabari, maksud frase yuzakkîhim (menyucikan mereka) dalam ayat di atas adalah menyucikan mereka dari kekufuran (QS ath-Thabari, 28/93). Frase yuzakkîhim, menurut Imam al-Qurthubi, juga bisa bermakna menjadikan kalbu-kalbu mereka suci dengan keimanan.

Kedua, menyucikan diri dari keburukan-keburukan amal perbuatan dengan melakukan amal-amal shalih. Pengertian ini antara lain dikemukakan oleh Abi as-Sa'ud ketika menafsirkan ayat di atas (Tafsir Abi as-Sa'ud, VIII/247).

Ketiga, menjalankan ketaatan kepada Allah: Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu… (TQS asy-Syam [91]: 6-9). Menurut Imam al-Qurthubi dan Imam Ibn Katsir, frase man zakkâha maksudnya adalah siapa yang disucikan jiwa oleh Allah dengan ketaatan kepada-Nya.

Keempat, tidak memiliki dosa atau bertobat dari dosa-dosa: Musa berkata, "Mengapa kamu membunuh jiwa yang suci?" (TQS al-Kahfi [18]: 74).
Mengutip Abu Amr, Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa kata zakiyyah dalam ayat di atas adalah orang yang tidak berdosa sedikit pun, tetapi bisa juga orang yang berdosa kemudian ia bertobat dari dosanya.

Kelima, totalitas keimanan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala Itu adalah balasan bagi orang yang menyucikan diri. (TQS Thaha [20] 76). Ibn Katsir menyatakan, man tazakkâ pada ayat di atas maknanya adalah yang menyucikan dirinya dari dosa, keburukan dan syirik; hanya menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dan senantiasa mengikuti segala perbuatan baik  sebagaimana yang dicontohkan oleh para rasul.
Walhasil, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa konsep tazkiyah an-nafs sesungguhnya mencakup dua hal saja, yakni memurnikan keimanan kepada Allah dan menjalankan ketaatan secara total kepada-Nya. Itu hanya mungkin jika umat ini memberlakukan syariah-Nya secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka.

Wallâhu a'lam bi ash-shawâb

Rabu, 25 Juli 2012

kewajiban didahulukan daripada keutamaan

Ada beberapa perkara yang sisi lahiriahnya adalah keutamaan, sedangkan sisi 'batiniah'-nya adalah kewajiban:
1. membaca Alquran adalah keutamaan, mengamalkan isinya adalah kewajiban;
2. bergaul dengan orang-orang shalih adalah keutamaan, sementara meneladani keshalihan mereka adalah kewajiban;
3. ziarah kubur adalah keutamaan, sementara mempersiapkan bekal (dengan memperbanyak amal-amal shalih) sebelum masuk ke alam kubur adalah kewajiban.
Demikian menurut Sayidina Utsman bin Affan ra dalam suatu riwayat, sebagaimana dikutip Imam an-Nawawi dalam sebuah kitabnya.
Melalui pesan Utsman di atas setidaknya kita memahami: Pertama, penting membaca Alquran, tetapi lebih penting lagi mengamalkan isinya; penting untuk selalu bergaul dengan orang-orang shalih, namun lebih penting lagi mene-ladani keshalihan mereka; penting untuk melakukan ziarah kubur, tetapi lebih penting lagi adalah mempersiapkan amal shalih untuk bekal di alam kubur.
Alasannya jelas. Bagaimanapun kewajiban harus lebih didahulukan dari-pada keutamaan. Sebab, tentu tak ada keutamaan jika yang wajib ditinggalkan, meski yang sunnah dikerjakan. Bagi seorang Muslim, membaca Alquran, misal-nya, adalah sunnah dan keutamaan. Namun, jika isi Alquran yang ia baca tak diamalkan, tentu membacanya tidak lagi menjadi keutamaan bagi dirinya; sekadar menjadi 'hiasan', tetapi tak mendatangkan manfaat atau keberkahan. Sebab, bukan-kah Alquran Allah turunkan agar dijadikan pedoman, bukan sekadar dijadikan bacaan? Allah Subahanahu Wa Ta'ala bahkan telah mencela orang-orang yang mengabaikan isi Alquran
"Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur'an itu sesuatu yang tidak diacuhkan."
(Q.S. al-Furqan 25:30)
Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufassir dikategorikan sebagai tindakan mengabaikan Alquran. Di antaranya adalah tidak mengamalkan serta mematuhi perintah dan larangannya (Ibn Katsir, I/1335); tidak mau berhukum dengannya (Wahbah Zuhaili, IXX/61).
Saat ini banyak Muslim yang sering mengutamakan hal-hal yang sunnah, seraya mengabaikan perkara-perkara yang wajib. Mereka lebih menomorsatukan hal-hal yang sesungguhnya hanya merupakan keutamaan, sementara mereka menomor-duakan hal-hal yang sesungguhnya meru-pakan kewajiban.
Mungkin kita pernah atau malah sering menyaksikan pemandangan beri-kut: seseorang rajin menghadiri majelis-majelis dzikir, tetapi dalam bekerja kepada orang lain ia sering mangkir; seseorang banyak melafalkan kalimat-kalimat thayyibah, namun banyak pula ia melaku-kan ghibah; seseorang rajin menunaikan shalat-shalat sunnah, tetapi rajin pula melakukan perkara-perkara bid'ah; sese-orang biasa berpuasa senin-kamis, tetapi biasa pula bersikap pragmatis (tak peduli halal-haram); seseorang rajin bersedekah, namun tak peduli nafkahnya ia peroleh dari jalan yang salah; seseorang berkali-kali melakukan ibadah umrah, tetapi tak sekalipun ia mau saat diajak berdakwah; seseorang rajin membaca Alquran, namun perintah dan larangan yang ada di dalamnya sering ia abaikan; seseorang mengklaim cinta dan banyak bershalawat kepada Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam namun terhadap nasib Islam yang beliau bawa dan masa depan umatnya ia tak peduli; seseorang biasa  menyantuni fakir-miskin dan kaum dhuafa, namun biasa pula ia makan dari uang hasil riba; seseorang bergelar haji bahkan ke Makkah lebih dari sekali tetapi terhadap tetangganya yang miskin sering tak peduli; seseorang selalu berusaha menjaga citra dan kehormatan diri, namun auratnya ia pamerkan ke sana-kemari dan perilakunya tak terpuji; seseorang menjadi donatur kegiatan keagamaan/sosial di sana-sini, namun hartanya ternyata hasil korupsi. Demikian seterusnya hingga kita sering menyaksikan hal-hal yang saling berkontradiksi.
Padahal Allah Subahanahu Wa Ta'ala pun jelas telah mengutamakan kewajiban daripada perkara-perkara yang sunnah. Dalam sebuah hadits qudsi dinyatakan bahwa Allah Subahanahu Wa Ta'ala telah berfirman, "Tidak ada bentuk taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai daripada (mengerjakan) apa yang Aku wajibkan kepadanya. Seorang hamba terus-menerus bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintai-nya…” (HR al-Bukhari).
Melalui hadits qudsi ini, jelas Allah Subahanahu Wa Ta'ala menghendaki setiap Mukmin ber-taqarrub kepada-Nya: pertama-tama dengan melaksanakan semua kewajiban, baik berupa fardlu 'ain maupun fardlu kifayah; kemudian melengkapinya de-ngan menunaikan amalan-amalan sun-nah. Dengan itu, keutamaan  bisa kita raih, dan kewajiban pun bisa kita tunaikan. Dengan itu pula, akan sempurnalah taqarrub kita kepada-Nya. Wa mâ tawfîqî illâ billâh

Selasa, 24 Juli 2012

Muslim itu harus Jujur

Seorang Muslim sejatinya bukanlah pem- bohong atau orang yang biasa melakukan kebohongan. Bahkan seharusnya ia tidak pernah berbohong; kecuali dalam hal yang dibenarkan oleh syariah, seperti pada saat berperang melawan musuh atau demi mendamaikan dua orang Muslim yang sedang berselisih. Sebaliknya, seorang Muslim wajib selalu berkata dan bersikap jujur/benar. Apalagi jika dia adalah seorang pemimpin umat, tokoh masyarakat, atau malah seorang pejabat atau penguasa.
Berbohong jelas perbuatan dosa. Sebaliknya, berkata dan berperilaku jujur/benar adalah wajib. Allah Subhanahhu Wa Ta'ala berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar (QS at- Taubah [9]: 119).
Dalam kitab Hawasyi Syarh al-'Aqa'id, al-'Allamah Ibn Abi Syarif menyatakan, “Dalam istilah kaum sufi, kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) bermakna: samanya (perilaku seseorang) dalam keadaan tersembunyi (dari manusia) maupun dalam keadaan terang-terangan(terlihat manusia); kesesuaian (penampakan) lahiriah seseorang dengan batiniahnya. Dengan kata lainkeadaan seorang hamba tidak bertentangan dengan perilakunya, dan perilakunya tidak berlawanan dengan keadaannya.”
Dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah karya Syaikh Zakariya dinyatakan bahwa al-Junaid pernah ditanya, “Samakah sikap jujur/benar dengan ikhlas?” ia menjawab, “Keduanya berbeda. Jujur/benar itu pangkal/pokok (ashl[un]), sementara ikhlas itu ranting/cabang (far'[un]). Kejujuran/kebenaran adalah pangkal segala sesuatu, sedangkan keikhlasan tidak terjadi kecuali setelah melakukan perbuatan. Amal perbuatan tidaklah diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala   kecuali dengan sikap jujur/benar dan ikhlas.”
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah; yakni dengan cara meninggalkan maksiat (dan tentu dengan menjalankan ketaatankepada Allah Ta'ala). Jadilah kalian beserta orang-orang yang jujur/benar; yakni baik dalam keimanan maupun dalam memenuhi berbagai macam perjanjian.  Sebagian ulama menyatakan: ma'a ash-shadiqqin (beserta orang- orang yang jujur/benar) artinya bersama orang-orang yang senantiasa berdiri di atas jalan hidup yang benar ('ala minhaj al-haqq).
Terkait dengan ayat di atas, di dalam sebuah hadisnya Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Mas'ud, “Sesungguhnya kejujuran/kebenaran (ash-shidqu) mengantarkan pada kebaikan (al-birru), dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan pada surga. Sesungguhnya kebohongan/kedustaan mengantarkan pada kefasikan/kemaksiatan, dan sesungguhnya kefasikan/kemaksiatan mengantarkan pada neraka. Sesungguhnya seseorang yang benar-benar bersikap jujur/benar akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur/benar. Sesungguhnya seseorang yang benar- benar berbohong di sisi Allah akan dicatat sebagai pembohong.” (Mutaffaq 'alaih).
Maknanya, kejujuran/kebenaran dalam ucapan akan mengantarkan pada amal shalih yang sunyi dari segala cela. Dalam hal ini al-birru adalah nama untuk
menyebut segala jenis kebaikan (al-khayr). Imam al- Qurthubi berkata, “Setiap orang yang memahami Allah Subhanahu wa Ta 'ala wajib bersikap jujur/benar dalam ucapan, ikhlas dalam amal perbuatan dan senantiasa 'bersih' (tidak banyak melakukan dosa/kemaksiatan) dalam seluruh keadaan. Siapapun yang keadaannya seperti itu, dialah orang-orang benar-benar baik dan benar-benar ada dalam ridha Allah Yang Maha Pengampun.” (Lihat: Muhammad bin 'Allan ash-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh ash-Shalihin, I/ 146).
Seorang yang jujur/benar pasti akan jauh dari sifat- sifat munafik—sebagaimana dinyatakan oleh Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam—yakni: dusta dalam berbicara;  ingkar janji, mengkhianati amanah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Terkait dengan sifat munafik ini, Sahabat Hudzaifah ra pernah berkata, “Orang-orang munafik sekarang lebih jahat (berbahaya) daripada orang munafik pada masa Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam” Saat ia ditanya, “Mengapa demikian?” Hudzaifah menjawab, “Sesungguhnya pada masa Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam mereka menyembunyikan kemunafikannya, sedangkan sekarang mereka berani menampakkannya.” (Diriwayatkan oleh al-Farayabi tentang sifat an-nifaq (51-51), dengan isnad sahih).
Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Al-Kidzb (dusta) adalah salah satu rukun  dari kekufuran.” Selanjutnya ia menuturkan bahwa jika Allah menyebut kata nifak dalam Alquran, maka Dia menyebutnya bersama dengan dusta (al-kidzb). Demikian pula sebaliknya (Lihat: QS al- Baqarah: 9-10; QS al-Munafiqun: 1).
Walhasil, dusta/bohong merupakan karakter yang secara kongkret membuktikan bahwa pelakunya telah terjangkiti virus kemunafikan. Semoga kita terpelihara dari sifat tersebut. Amin

wanita itu berharga

“Sesungguhnya orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar, serta tidak akan pernah mati”. (Sayyid Qutbh).
Keberadaan makhluk diciptakan Allah adalah untuk membangun peradaban yang baik di dunia ini dan sekaligus untuk beribadah kepadaNya. Selama semua makhluk itu selalu berpijak pada pedoman hidup yang telah dikirimkan kepada utusanNya yang mulia maka semua proses akan berjalan dengan maksimal. Dan pencapaian itu tentu dengan kapasitas yang sudah ditunjuk pada masing-masing individu tentunya. Tidak ada saling lebih di antara yang lainnya kecuali tingkat ketaqwaannya.
Selama semua makhluk juga sadar akan keterikatannya dengan yang lain dalam lingkungan social yang ada maka kesinambungan dan keberlangsungan hidupnya juga harus memiliki aturan satu dengan yang lainnya. Charles Darwin, yang memulai karir ilmiahnya sebagai seorang geology tetapi kemudian menjadi tertarik pada biologi selama ekspedisinya ke Kepulauan Galapagos, dimana ia Fauna pulau. Pengamatan-pengamatannya merangsang Darwin untuk berspekulasi tentang pengaruh isolasi geografis pada formasi species dan secara bertahap membawanya kepada formulasi teori evolusinya. Dia menggambarkan hakekat kehidupan sosial dengan tendensi yang keliru yang berakar pada pandangan tentang alam yang dimiliki oleh pengikutnya dalam ilmu social (“Sosial darwinists”) pada abad kesembilan belas, yang percaya bahwa semua kehidupan dalam masyarakat harus berjuang untuk bereksistensi yang diatur oleh Hukum “Survival of the Fittest”. Kelirunya lagi sebagian kita secara tidak sadar menjadi penganut mahzab tersebut, dengan berorientasi pada hasil bukan pada proses. Saling mengorbankan yang lain, serta pendefinisian yang salah antara pria dan wanita, karena semua selalu dengan pendekatan agresif dan bersaing total.
 Wanita dengan segala kelebihannya
Kehidupan seseorang akan lebih berharga ketika ia mempunyai peran dalam kehidupan sesamanya. Filosofi kehidupan social inilah yang sebenarnya harus terpatri dalam diri seluruh umat manusia. Keadaan pada saat krisis akan menjadi lebih ringan ketika kita semua saling berkoneksi untuk mendapatkan kemaslahatan bersama. Tidak merasa saling unggul antara satu dengan lainnya, sehingga yang justru terjadi adalah suatu gerakan dekonstruktif. Satu dengan yang lainnya itu harus saling melengkapi, begitu juga peran wanita dan laki-laki. Bersatunya wanita dan laki-laki dalam keluarga yang harmonis mempunyai andil pengasuhan anak yang jadi pendorong utama terciptanya karakter yang berujung kepada karakter masyarakat sekitarnya.
Ada 3 masa penting di setiap tahapan kehidupan seorang wanita yang didasari oleh fungsi dan perannya yang secara biologis memang diciptakan berbeda dengan laki-laki:
  1. Saat kanak-kanak usia Golden Age
Dalam sebuah penelitian tahun 2005 di Inggris (Louann Brizendine, Female Brain), dilakukan perbandingan antara anak perempuan dan anak laki-laki usia empat tahun dalam hal kualitas hubungan social mereka. Dalam perbandingan ini mereka juga dinilai berdasarkan suatu skala popularitas dengan melihat berapa banyak anak lain yang ingin bermain dengan mereka. Anak perempuan menang telak. Anak-anak yang semuanya berusia empat tahun ini, sebelumnya sudah diukur kadar testosteronnya selama dalam Rahim antara usia kehamilan 12 dan 18 minggu. Pada saat itu, otak mereka sedang berkembang menjadi rancangan laki-laki atau perempuan. Anak-anak dengan kadar testosterone terendah memiliki hubungan social yang kualitasnya paling tinggi di usia empat tahun. Mereka adalah anak-anak perempuan.
Di otak perempuan, sirkuit untuk melakukan serangan lebih erat kaitannya dengan berbagai fungsi kognitif, emosional, dan verbal daripada jalur agresi laki-laki, yang lebih terhubung dengan beberapa area otak untuk aksi. Dari situ bisa kita lihat perbedaan mendasar yang harus kita fahami bahwa walaupun kita beri mainan anak-anak yang sama, baik itu laki-laki maupun perempuan akan beda penyikapan mereka atas mainan tersebut, contohnya adalah ketika anak perempuan diberi truk mainan tetap disikapi dengan menggendong mainan tersebut bukan memainkannya sebagaimana fungsinya, berbeda ketika mainan itu diberi kepada anak laki-laki.
Pembentukan otak manusia pada saat paling vital terbangun 80% pada saat golden age. Dimana sejarah perkembangan dan pembentukan karakter dibangun saat golden age ini. Anak yang mendapat pembinaan di usia ini akan berdampak kepada peningkatan etos kerja, produktivitas yang maksimal dan pada akhirnya mampu megoptimalkan potensinya yang ada. Peran ibu yang stabil secara emosi dan kejiwaan,  sangat berperan dalam usia pembentukan ini. Stres ibu selama kehamilan berpengaruh pada reaksi emosi dan reaksi hormone stress, khususnya pada keturunan perempuan.
  1. Pada saat menjadi ibu di usia subur
Pada saat  masa kesuburan yang ditandai dengan datangnya masa haid pertama, setiap wanita akan mengalami pasang surut emosi selama rentang waktu evolusi haid tersebut. Yang tidak dialami oleh laki-laki. Dan tingkat keunggulan calon anak yang baik terjadi pada saat usia-usia produktif pembuahan. Siapapun yang pernah merasakan masa kehamilan akan terjadi secara otomatis rasa keibuan mereka. Walaupun sebelumnya tidak ada bayangan sama sekali.
Para ilmuwan di universitas College, London, menemukan bahwa beberapa bagian otak yang biasanya tersedia untuk membentuk penilaian kritis dan negative terhadap orang lain-misalnya, anterior cingulate cortex-padam ketika seseorang menatap orang yang dicintai. Respon pengasuhan lembut yang ditimbulkan sirkuit-sirkuit oksitosin ini diperkuat oleh rasa senang yang timbul karena semburan dopamine (senyawa kimia kesenangan dan imbalan). Dalam otak seorang ibu, dopamine didongkrak oleh estrogen dan oksitosin. (Louann Brizendine, Female Brain).
Pada saat inilah peran penting terbangunnya peradaban dimulai, ketika  seorang ibu secara naluriahnya yang khas memegang peran utama dalam pengasuhan anaknya. Pembentukan karakter keluarga tergantung dari pembagian peran dalam keluarga tersebut. Ketika ibu  bertanggung jawab atas pengasuhan anaknya dan seorang ayah mendukung peran ibu dalam menstabilkan emosinya serta finansial keluarga maka terciptalah hubungan yang harmonis. Seperti kita tahu peranan keluarga dalam pembentukan masyarakat sangatlah penting. Dalam harian KOMPAS, 4 Maret 2012 lalu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto mengatakan, bunuh diri yang terjadi di Jakarta dan wilayah sekitarnya sebagian besar dipicu masalah internal keluarga. Serta menurut dokter kesehatan jiwa di Rumah Sakit Duren Sawit, Joni H Ismoyo, kunci utama untuk mengurangi ketegangan jiwa adalah menjalin komunikasi yang lancar antar anggota keluarga.
  1. Saat menopause
Kebutuhan untuk tetap berada pada orang-orang yang disayangi saat usia kehidupan mencapai usia menopause sangat berharga. Kehadiran anak-anak dan cucu-cucunya. Bayangkan jika makin banyak perempuan menopause single yang hidup sendiri. Empat dari lima perempuan usia 50 tahun berkata bahwa membantu orang lain adalah penting bagi mereka (Louann Brizendine, Female Brain).  Pada saat menopause, otak perempuan kebanyakan, diprogram oleh suatu interaksi yang rumit. Interaksi terjadi antara hormone, sentuhan fisik, emosi, dan sirkuit-sirkuit otak untuk menjaga, memenuhi kebutuhan, dan membantu orang-orang di sekelilingnya. Dalam kaitannya dengan masyarakat, dia selalu terdorong untuk menyenangkan orang lain. Desakan untuk membentuk hubungan serta keinginan dan kemampuan yang sangat terasah untuk membaca emosi, kadang ,memaksanya untuk menolong sekalipun dalam kasus-kasus yang tak berpengharapan.
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa usia menopause juga merupakan salah satu usia produktif bagi kaum wanita untuk menggerakkan seluruh kemampuannya berdasarkan pengalaman hidup mereka yang sudah matang. Dalam beberapa kasus keterlibatan mereka dalam lingkungan social menyebabkan stabilnya kesehatan di usia mereka.
Ketika kita fahami tahapan-tahapan pada kehidupan wanita tadi ada banyak hal yang seharusnya bisa di lakukan. Hal paling penting adalah memetakan waktu-waktu dalam kehidupan tadi. Apa yang seharusnya dilakukan, seperti umur berapa usia perkawinan produktif agar terlahirnya generasi baru yang tumbuh kembangnya optimal. Dan juga segala sesuatu untuk keberlangsungan hidup yang seimbang. Untuk itu juga ada 2 hal yang juga harus dioptimalkan seorang wanita:
  1. Pahami benar tugas dan peran di setiap tahapan agar semuanya bisa dilalui dengan baik. Tugas seorang ibu sejak awal faham bagaimana karakteristik anak laki-laki dan perempuan mereka. Bukan seperti yang dianut oleh para feminis bahwa perbedaan perlakuan atas jenis kelamin anak akibat perilaku budaya setempat. Sudah kita buktikan di atas bahwa  secara biologis wanita dan laki-laki berbeda memang berbeda.
  2. Mantapkan keilmuan karena kesadaran akan tugas dan peran memerlukan banyak pengetahuan. Pengetahuan akan banyak membuka wawasan serta mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Keseimbangan emosi dan kestabilan jiwa seorang wanita didasari dekatnya hubungan mereka dengan Rabb-nya. Ketika menghadapi permasalahan ketidak seimbangan hormon, tidak menjadikannya seorang yang lompatan kestabilannya melenting jauh.
(Tulisan mba' Fiatri Widuri, ST , Ketua Kelompok Kajian Salimah)

adab berpuasa....................

Dalam ibadah puasa Ramadan, Rasulullah telah .menunjukkan teladan yang terbaik untuk diikuti oleh umatnya. Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda dalam sebuah hadis baginda yang bermaksud
“Apabila seorang dari kamu sekelian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan berteri cmak. Bila dicela orang lain atau dimusuhi, maka katakanlah- sesungguhnya aku ini sedang berpuasa.”
Sebagaimana penjelasan baginda Rasulullah sendiri bahawa orang yang berpuasa itu pada hari kiamat nanti bau mulutnya akan lebih harum dari bau kasturi.
Dalam penyempurnaan ibadat puasa Ramadan, beberapa langkah yang telah diambil oleh baginda antaranya ialah:
* Memantapkan niat – Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda yang bermaksud : “Sesiapa yang tidak menetapkan akan berpuasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah)
* Melaksanakan makan sahur – Anas bin Malik r.a. telah berkata telah bersabda Rasululla Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. yang bermaksud: Sahurlah kamu sekelian, sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkatannya. (riwayat Muslim).
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani yang dimaksudkan dengan berkat itu adalah ganjaran pahala dari Allah. Sahur akan menguatkan lagi semangat dalam berpuasa serta dapat membantu seseorang itu untuk melakukan apa juga bentuk ibadat sepanjang ibadat puasa dilaksanakan.
* Imsak Rasulullah – Rasululalh Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. bersabda : “Apabila salah seorang dari kamu mendengar azan subuh padahal bekas minuman masih di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sehingga dia menyelesaikan meminumnya”. (riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah).
Keadaan yang digambarkan oleh hadis tersebut ialah kepada seseorang yang terlewat ketika bangun untuk makan sahur.
* Mempercepat berbuka – Sahl bin Saad berkata sesungguhnya Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam telah bersabda: Telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta'ala: “Hamba-hamba-Ku yang lebih aku cintai ialah mereka yang segera berbuka puasa bila tiba masanya”. (riwayat Tirmizi dan Abu Hurairah).
* Memperbanyak membaca al-Quran – Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda yang bermaksud: Orang yang berkumpul di masjid dan membaca al-Quran, maka kepada mereka Allah akan menurunkan kelemahan batin dan limpahan rahmat. (riwayat Muslim).
Barang siapa yang membaca satu huruf al-Quran, maka pahala untuknya sepuluh kali ganda.
Namun membaca dalam konteks hadis di atas adalah ketenangan dan limpahan rahmat akan lebih mudah dicapai bila tadarus diertikan dengan mempelajari, menelaah dan menikmati al-Quran.
* Memperbanyakkan sedekah – Sedekah yang paling utama adalah sedekah pada bulan Ramadan. Bersedekah bukan hanya memberi wang, tetapi termasuklah mengajak orang lain berbuka puasa di rumah kita terutama kepada golongan fakir miskin.
Orang yang berpuasa wajib meninggalkan akhlak yang buruk.Segala tingkah laku mestilah mencerminkan budi yang luhur dengan menjauhi kelakuan tidak sopan seperti mengumpat, mengeji dan sebagainya sehingga membawa kepada Allah tidak menerima amalan puasanya itu.
Rugi rasanya jika kita membiarkan Ramadan yang sedang kita tempuhi ini berlalu begitu saja sedangkan ganjaran yang sedang menanti adalah terlalu banyak.
Lakukan sesuatu yang terbaik di sisi Allah kerana pada setiap malam bulan Ramadan ada suara yang memanggil: “Wahai orang yang melakukan kebajikan terus tingkatkan apa yang kamu lakukan itu. Wahai orang yang lalai, hentikanlah segera akan kelalaian yang sedang engkau lakukan. Mudah-mudahan Allah akan menunjukkan kita semua jalan yang lurus, menghapuskan dosa dan memasukkan kita dalam golongan manusia yang bebas dari api neraka.”
* persaudaraan muslimah

Senin, 23 Juli 2012

Membimbing anak berpuasa

Mampu menjalankan puasa Ramadhan bagi orang dewasa adalah anugerah. Sebab boleh jadi, pada hari-hari normal sangat sulit bisa menyempatkan diri puasa sunah, Senin-Kamis misalnya. Entah karena beratnya pekerjaan maupun tingginya godaan setan. Namun suasana Ramadhan membantunya menjalani puasa penuh khidmat. Lagi pula, orang dewasa sudah berpuluh kali menjalani puasa Ramadhan sehingga sudah tahu apa tujuan, makna dan faedah puasa. Tapi, bagaimana dengan anak-anak? Haruskah mereka berpuasa? Apa faedahnya?

Bagi orang tua, membolehkan puasa Ramadhan bagi anak-anak terkadang menjadi dilema. Terlebih bagi ibu, dalam hati kecilnya tak tega menyuruh anak berpuasa,  terutama bila usia anak tergolong balita atau anak usia dini. Mereka masih dalam masa pertumbuhan sehingga puasa dikhawatirkan mengganggu proses tumbuh kembangnya. Sebab, anak butuh energi besar untuk mengimbangi gerak-gerik mereka yang sangat aktif. Biasanya, anak sedang gemar makan atau ngemil. Termasuk minum susu dengan frekuensi cukup sering. Kalau puasa, bagaimana dengan asupan gizinya? Tidakkah mengganggu pertumbuhannya fisik dan mentalnya?

Perlu dipahami, anak-anak yang mencoba untuk ikut berpuasa, sesungguhnya sedang dilatih untuk berdisiplin. Berdisiplin untuk bangun sahur pada malam hari, makan tepat waktu berbuka dan menahan nafsu. Termasuk sebagai latihan untuk taat pada perintah agama.

Latihan ini bukan hanya pada menahan lapar, tapi lebih penting pada esensi berpuasa itu sendiri. Karenanya, bila memang belum waktunya anak puasa penuh, biarlah mereka berbuka di tengah hari.

Pembiasaan puasa juga bisa mendidik anak-anak untuk jujur, misalnya mereka tetap berpuasa sekalipun teman-temannya di sekolah tidak. Kalaupun karena tidak kuat menahan lapar atau godaan teman ia terpaksa berbuka di luar rumah, anak juga bisa diajar untuk berterus-terang, bukan berbohong dan malu mengakuinya.

Insya Allah, puasa tidak akan mengganggu metabolisme tubuh mereka. Asalkan, puasa yang diterapkan pada anak memperhatikan usia dan kondisi fisik maupun psikis si anak. Artinya, jangan memaksakan puasa pada anak seperti puasanya orang dewasa, yakni mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Nah, untuk melatih anak menjalani puasa, butuh kesiapan fisik dan psikis jauh-jauh hari sebelum Ramadhan. Berpuasa bagi anak bukan agenda dadakan. Orang tua wajib melakukan pendekatan kepada anak jauh sebelum bulan Ramadhan tiba.

Berikan pemahaman sesuai usia anak, mengenai hakikat puasa. Bagi balita misalnya, boleh jadi puasa diterapkan untuk mengerem mereka dari kebiasaan jajan. Toh selain boros, cemilan anak kebanyakan tak menyehatkan. Jadi, makan pokok tetap jalan, tapi di luar itu katakan puasa. Misalnya sejak sarapan sampai makan siang, itulah jadwal puasanya. Dilanjutkan hingga waktu makan pokok di sore atau malam hari.

Lakukan pula pendekatan ruhiyah, bahwa puasa akan membuatnya sehat dan disayangi Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Jika disayang Allah, doa apapun akan dikabulkan dan akan masuk surga. Pahamkan pula dengan tata cara puasa, seperti harus bangun pagi, harus berbuat baik, tidak boleh ngomong jorok, dll.

Ajarkan doa-doa dan tata cara ibadah pada Ramadhan seperti shalat tarawih, tadarus, mempersiapkan buku-buku video Islami dan permainan edukatif. Ya, awal puasa biasanya anak libur sekolah sehingga dimanfaatkan untuk bermain. Apalagi puasa pertama, karena berat, untuk alihkan dengan bermain.

Hari pertama ini, mungkin agak sulit bagi anak. Bisa jadi puasanya baru sebatas sampai jam 9, 10 atau 11 pagi. Tingkatkan terus batas puasanya sesuai kemampuan mereka. Karena itu orangtua juga harus jeli melihat tanda-tanda batas kesanggupan anak. Karena tak dipungkiri juga jika lingkungan memengaruhi sikap anak.

Jangan paksakan akan puasa hingga sempurna, hanya karena mengejar gengsi atau ambisi orangtua. “Anak saya dong, baru empat tahun, puasanya kuat sampai maghrib,” begitu celoteh ibu-ibu.

Sebab bila dipaksa, justru anak akan trauma. Mereka bisa jadi malah menganggap puasa itu menyiksa. Ingat, memori pada usia dini akan terekam terus hingga dewasa. Jangan karena trauma, anak sampai dewasa justru enggan puasa. Atau jika berpuasa, tidak jujur. Misalnya tanpa sepengetahuan orangtua malah makan atau jajan.

Sementara itu, asupan gizi dan vitamin dari makanan, harus berkualitas. Idealnya menu sahur dan buka puasa harus lengkap, mengandung seluruh vitamin dan mineral yang dibutuhkan anak. Makanan juga harus fresh, sehingga kandungan gizinya terjaga. Dengan begitu, meski frekuensi makannya berkurang, tapi kebutuhan akan zat-zat penting pembangun tubuh tetap terpenuhi

Tips rasional berbelanja kebutuhan lebaran

Lebaran di depan mata. Belanja meningkat, itu sudah pasti. Tapi, bagaimana agar tidak kalap? Ingat, lebaran bukan segalanya. Insya Allah masih ada hari esok. Jangan sampai kita jadi orang bangkrut setelah pesta Idul Fitri usai. Nah, berikut ini ada beberapa tips untuk tetap rasional saat berbelanja kebutuhan lebaran:

1. Tulis anggaran pendapatan dan belanja lebaran (APBL).
Rinci secara detail, pendapatan gaji plus THR dan sumber pendapatan lain jika ada, berapa totalnya. Kemudian, rinci pula prediksi pengeluaran saat lebaran. Belanja fashion, kue, zakat, sedekah, ongkos mudik, termasuk kebiasaan memberikan bingkisan atau angpau pada kerabat. Semua harus rinci.

2. Buat skala prioritas.
Orang yang bijak belanja adalah yang mampu menetapkan prioritas kebutuhannya. Ketika mendapat THR misalnya. Ibarat rezeki nomplok, sebaiknya dimanfaatkan betul untuk pengeluaran yang sifatnya wajib. Seperti, melunasi utang yang tidak terbayar dengan gaji rutin. Memberi THR untuk pembantu maupun penjaga keamanan. Sisa dana lainnya untuk membeli barang-barang yang sifatnya wajib pula, seperti sembako.

3. Utamakan fungsi, bukan gengsi.
Belilah produk yang benar-benar dibutuhkan saja. Jangan tergoda membeli produk demi gengsi, padahal tak penting. Seperti membeli hiasan dinding untuk ruang tamu, toples kue mahal, mukena model terbaru padahal yang lama masih bisa difungsikan, dll.

4. Pertimbangan harga.
Ada harga, ada barang. Mungkin benar. Makanya, teliti sebelum membeli. Terutama terkait makanan-minuman, jangan asal murah, tapi halal dan tak kadaluarsa. Adapun belanja pakaian atau lainnya, produk berkualitas pun banyak yang dijual obral. Lebaran kerap menjadi momen bagi pusat perbelanjaan untuk cuci gudang. Tak ada salahnya dimanfaatkan, asal produk yang dibeli benar-benar dibutuhkan. Jadi, tak perlu gengsi memanfaatkan diskon, selama benar-benar masuk akal. Bukan diskon akal-akalan, yang harganya sudah dinaikkan dulu.

5. Jangan sering ke mal atau pasar.
Kebiasaan window shopping (melihat-lihat) di mal atau pasar, membahayakan isi dompet. Tadinya iseng, akhirnya terjebak juga untuk belanja. Jadi kalau tak perlu sekali untuk belanja, jangan sekali-kali menginjakkan kaki ke pusat perbelanjaan.

6. Awas termakan iklan!
Iklan menawarkan diskon ramai menghiasi halaman surat kabar, merangsang pembaca untuk mengeluarkan isi dompetnya. Untuk itu, jangan terbujuk iklan mentah-mentah. Apalagi bila produk dimaksud benar-benar tak dibutuhkan. Ingatlah, lebaran kali ini bisa jadi bukan terakhir. Tahun depan masih ada lebaran lagi. Jadi, jangan khawatir tak bisa lagi melampiaskan nafsu belanja, karena masih ada hari esok.

7. Sisakan untuk menabung.
Agar isi dompet tak mengalir semua, sisakan dana untuk menabung. Kalau perlu simpan di tempat yang sulit diakses. Misal di salah satu rekening kita, dimana kita tidak punya kartu ATM-nya. Dengan begitu tidak mudah untuk diambil. Tabungan ini berfungsi untuk safety. Terutama ketika pasca lebaran ada kebutuhan mendadak, semisal anggota keluarga sakit.
Nah, buat para ibu yang bertanggung jawab mengelola keuangan keluarga, memang dituntut kreativitasnya. Mengelola uang di saat lebaran memang membutuhkan kemampuan mengendalikan nafsu belanja. Selamat berbelanja!

Minggu, 22 Juli 2012

Dahsyatnya Ujian Wanita dan Dunia

Tidak ada fitnah yang paling membahayakan kaum lelaki setelah sepeninggalku kecuali fitnah dari kaum wanita” . (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekuasaan dan hikmah-Nya yang sempurna menjadikan dunia serta perhiasannya yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Al-Mulk: 2)
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-’Ankabut: 1-2)
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmah-Nya memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya hikmah dihadapkannya mereka kepada berbagai ujian dan cobaan itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 3)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hikmah-Nya yang sempurna. Di mana sifat hikmah-Nya mengharuskan setiap orang yang mengaku beriman tidak akan dibiarkan begitu saja dengan pengakuannya. Pasti dia akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan. Bila tidak demikian, niscaya tidak bisa terbedakan antara orang yang benar dan jujur dengan orang yang dusta. Tidak bisa terbedakan pula antara orang yang berbuat kebenaran dengan orang yang berbuat kebatilan. Sudah merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia menguji (manusia) dengan kelapangan dan kesempitan, kemudahan dan kesulitan, kesenangan dan kesedihan, serta kekayaan dan kemiskinan.”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan dalam tafsirnya: “(Agar terbedakan) orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta dalam ucapan dan pengakuannya. Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengetahui cara terjadinya sesuatu bila hal itu terjadi. Hal ini adalah prinsip yang telah disepakati (ijma’) oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jamaah.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan telah mengabarkan:

“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan maksud ayat di atas dalam tafsirnya: “Seorang rasul adalah ujian bagi umatnya, yang akan memisahkan orang-orang yang taat dengan orang-orang yang durhaka terhadap rasul tersebut.
Maka Kami jadikan para rasul sebagai ujian dan cobaan untuk mendakwahi kaum mereka. Seorang yang kaya adalah ujian bagi yang miskin. Demikian pula sebaliknya. Orang miskin adalah ujian bagi orang kaya. Semua jenis tingkatan makhluk (merupakan ujian dan cobaan bagi yang sebaliknya) di dunia ini. Dunia yang fana ini adalah medan yang penuh ujian dan cobaan.”
Dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu di atas, kita dapatkan faedah bahwa: seorang istri adalah ujian bagi suaminya, anak adalah ujian bagi kedua orangtuanya, pembantu adalah ujian bagi tuannya, tetangga adalah ujian bagi tetangga yang lainnya, rakyat adalah ujian bagi pemerintahnya, dan sebagainya. Begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan: “Tujuannya adalah apakah kalian mau bersabar, kemudian menegakkan berbagai perkara yang diwajibkan atas kalian, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas amalan kebaikan kalian. Ataukah kalian tidak mau bersabar yang dengan sebab itu kalian berhak mendapatkan kemurkaan (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan siksaan?!
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali ‘Imran: 14)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa kecintaan terhadap kenikmatan dan kesenangan dunia akan ditampakkan indah dan menarik di mata manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan hal-hal ini secara khusus karena hal-hal tersebut adalah ujian yang paling dahsyat, sedangkan hal-hal lain hanyalah mengikuti. Maka, tatkala hal-hal ini ditampakkan indah dan menarik kepada mereka, disertai faktor-faktor yang menguatkannya, maka jiwa-jiwa mereka akan bergantung dengannya. Hati-hati mereka akan cenderung kepadanya.” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 124)
Fitnah (godaan) wanita
Betapa banyak lelaki yang menyimpang dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena godaan wanita. Betapa banyak pula seorang suami terjatuh dalam berbagai kezaliman dan kemaksiatan disebabkan istrinya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (At-Taghabun: 14)
Al-Imam Mujahid rahimahullahu berkata: “Yakni akan menyeret orangtua atau suaminya untuk memutuskan tali silaturahim atau berbuat maksiat kepada Rabbnya, maka karena kecintaan kepadanya, suami atau orangtuanya tidak bisa kecuali menaatinya (anak atau istri tersebut).”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Berniat dan berbuat baiklah kalian kepada para wanita. Karena seorang wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Maka apabila kamu berusaha dengan keras meluruskannya, niscaya kamu akan mematahkannya. Sedangkan bila kamu membiarkannya niscaya akan tetap bengkok. Maka berwasiatlah kalian kepada para istri (dengan wasiat yang baik).” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah (ujian/godaan) yang lebih dahsyat bagi para lelaki selain fitnah wanita.” (Muttafaqun ‘alaih dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Al-Mubarakfuri rahimahullahu berkata: “(Sisi berbahayanya fitnah wanita bagi lelaki) adalah karena keumuman tabiat seorang lelaki adalah sangat mencintai wanita. Bahkan banyak terjadi perkara yang haram (zina, perselingkuhan, pacaran, dan pemerkosaan, yang dipicu [daya tarik] wanita). Bahkan banyak pula terjadi permusuhan dan peperangan disebabkan wanita. Minimalnya, wanita atau istri bisa menyebabkan seorang suami atau seorang lelaki ambisius terhadap dunia. Maka ujian apalagi yang lebih dahsyat darinya?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan godaan wanita itu seperti setan, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita. Kemudian beliau mendatangi Zainab istrinya, yang waktu itu sedang menyamak kulit hewan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menunaikan hajatnya (menggaulinya dalam rangka menyalurkan syahwatnya karena melihat wanita itu).
Setelah itu, beliau keluar menuju para sahabat dan bersabda:

“Sesungguhnya wanita itu datang dalam bentuk setan dan berlalu dalam bentuk setan pula. Apabila salah seorang kalian melihat seorang wanita (dan bangkit syahwatnya) maka hendaknya dia mendatangi istrinya (menggaulinya), karena hal itu akan mengembalikan apa yang ada pada dirinya (meredakan syahwatnya).” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam Syarah Shahih Muslim (8/187): “Para ulama mengatakan, makna hadits itu adalah bahwa penampilan wanita membangkitkan syahwat dan mengajak kepada fitnah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan adanya kecenderungan atau kecintaan kepada wanita dalam hati para lelaki, merasa nikmat melihat kecantikannya berikut segala sesuatu yang terkait dengannya. Sehingga seorang wanita ada sisi keserupaan dengan setan dalam hal mengajak kepada kejelekan atau kemaksiatan melalui was-was serta ditampakkan bagus dan indahnya kemaksiatan itu kepadanya.
Dapat diambil pula faedah hukum dari hadits ini bahwa sepantasnya seorang wanita tidak keluar dari rumahnya, (berada) di antara lelaki, kecuali karena sebuah keperluan (darurat) yang mengharuskan dia keluar.
Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang segala sesuatu yang akan menyebabkan hamba-hamba-Nya terfitnah dengan wanita, seperti memandang, berkhalwat (berduaan dengan wanita yang bukan mahram), ikhtilath (campur-baur lelaki dan perempuan yang bukan mahram). Bahkan mendengarkan suara wanita yang bisa membangkitkan syahwat pun dilarang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. (An-Nur: 30)

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’: 32)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Janganlah salah seorang kalian berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jauhi oleh kalian masuk kepada para wanita.” Seorang lelaki Anshar bertanya: “Bagaimana pendapat anda tentang ipar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ipar itu berarti kebinasaan (banyak terjadi zina antara seorang lelaki dengan iparnya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Agar hamba-hamba-Nya selamat dari godaan wanita, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dengan wanita shalihah, yang akan saling membantu dengan dirinya untuk menyempurnakan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kebaikan nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Godaan dunia dan harta
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu manis (rasanya) dan hijau (menyenangkan dilihat). Dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan sebagian kalian dengan sebagian yang lain di dalamnya, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal dengan dunia tersebut. Oleh karena itu, takutlah kalian terhadap godaan dunia (yang menggelincirkan kalian dari jalan-Nya) dan takutlah kalian dari godaan wanita, karena ujian yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah godaan wanita.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

“Sesungguhnya setiap umat itu akan dihadapkan dengan ujian (yang terbesar). Dan termasuk ujian yang terbesar yang menimpa umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu)
Harta dan dunia bukanlah tolok ukur seseorang itu dimuliakan atau dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Rabbku menghinakanku.” (Al-Fajr: 15-16)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Maksud ayat-ayat tersebut adalah tidak setiap orang yang Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) beri kedudukan dan limpahan nikmat di dunia berarti Aku limpahkan keridhaan-Ku kepadanya. Hal itu hanyalah sebuah ujian dan cobaan dari-Ku untuknya. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezekinya, Aku beri sekadar kebutuhan hidupnya tanpa ada kelebihan, berarti Aku menghinakannya. Namun Aku menguji hamba-Ku dengan kenikmatan-kenikmatan sebagaimana Aku mengujinya dengan berbagai musibah.” (Ijtima’ul Juyusy, hal. 9)
Sehingga, dunia dan harta bisa menyebabkan pemiliknya selamat serta mulia di dunia dan akhirat, apabila dia mendapatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia juga mensyukurinya serta menunaikan hak-haknya sehingga tidak diperbudak oleh dunia dan harta tersebut.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan: Orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan harta kepadanya lalu dia infakkan di jalan yang benar, serta orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan ilmu kepadanya lalu dia menunaikan konsekuensinya (mengamalkannya) dan mengajarkannya.” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Dan demikianlah keadaan para sahabat dahulu. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan: Beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami untuk mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka juga berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” (HR. Muslim)
Sebaliknya, orang yang tertipu dengan harta dan dunia sehingga dia diperbudak olehnya, dia akan celaka dan binasa di dunia maupun akhirat. Na’udzu billah min dzalik (Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal tersebut). Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan tentang hakikat harta dan dunia itu dalam firman-Nya:
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir akan dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, maka dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan orang-orang yang sebelum kalian.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Amr bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu)
 “Celaka hamba dinar, dirham, qathifah, dan khamishah (keduanya adalah jenis pakaian). Bila dia diberi maka dia ridha. Namun bila tidak diberi dia tidak ridha.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kejahatan orang yang berilmu dan ahli ibadah dari kalangan ahli kitab yang telah diperbudak oleh harta dan dunia dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya: “Yang dimaksud ayat tersebut adalah peringatan dari para ulama su’ (orang yang berilmu tapi jahat) dan ahli ibadah yang sesat. Sebagaimana ucapan Suyfan ibnu Uyainah rahimahullahu: ‘Barangsiapa yang jahat dari kalangan orang yang berilmu di antara kita, berarti ada keserupaan dengan para pemuka Yahudi.
Sedangkan barangsiapa yang sesat dari kalangan ahli ibadah kita, berarti ada keserupaan dengan para pendeta Nasrani. Di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih: ‘Sungguh-sungguh ada di antara kalian perbuatan-perbuatan generasi sebelum kalian. Seperti bulu anak panah menyerupai bulu anak panah lainnya.’ Para sahabat g bertanya: ‘Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi?’
Dalam riwayat yang lain mereka bertanya: ‘Apakah mereka Persia dan Romawi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’
Intinya adalah peringatan dari tasyabbuh (menyerupai) ucapan maupun perbuatan mereka.
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Mereka) benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (At-Taubah: 34)
Hal itu karena mereka memakan harta orang lain dengan kedok agama. Mereka mendapat keuntungan dan kedudukan di sisi umat, sebagaimana para pendeta Yahudi dan Nasrani mendapatkan hal-hal tersebut dari umatnya di masa jahiliah. Hingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun tetap berkeras di atas kejahatan, kesesatan, kekafiran, dan permusuhannya, disebabkan ambisi mereka terhadap kedudukan tersebut. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memadamkan kesesatan itu dengan cahaya kenabian sekaligus menggantikan kedudukan mereka degan kehinaan serta kerendahan. Dan mereka akan kembali menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala membawa kemurkaan-Nya.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Sungguh, ambisi terhadap dunia termasuk sebab yang menimbulkan berbagai macam fitnah pada generasi pertama. Telah terdapat riwayat yang shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dalam Masa’il Al-Imam Ahmad (2/171), bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata: Seorang dari Anshar datang kepadaku pada masa khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu. Dia berbicara denganku. Tiba-tiba dia menyuruhku untuk mencela Utsman radhiyallahu ‘anhu. Maka aku katakan: ‘Sungguh, demi Allah, kita tidak mengetahui bahwa Utsman membunuh suatu jiwa tanpa alasan yang benar. Dia juga tidak pernah melakukan dosa besar (zina) sedikitpun. Namun inti masalahnya adalah harta. Apabila dia memberikan harta tersebut kepadamu, niscaya engkau akan ridha. Sedangkan bila dia memberikan harta kepada saudara/kerabatnya, maka kalian marah.”
Selanjutnya, Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila kalian arahkan pandangan ke tengah-tengah kaum muslimin, baik di zaman yang telah lalu maupun sekarang, niscaya engkau akan saksikan kebanyakan orang yang tergelincir dari jalan ini (al-haq) adalah karena tamak terhadap dunia dan kedudukan. Maka barangsiapa yang membuka pintu ini untuk dirinya niscaya dia akan berbolak-balik. Berubah-ubah prinsip agamanya dan akan menganggap remeh/ringan urusan agamanya. (Bidayatul Inhiraf, hal. 141)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Setiap orang dari kalangan orang yang berilmu yang lebih memilih dunia dan berambisi untuk mendapatkannya, pasti dia akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam fatwanya, dalam hukum yang dia tetapkan, berita-berita yang dia sebarkan, serta konsekuensi-konsekuensi yang dia nyatakan. Karena hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala mayoritasnya menyelisihi ambisi manusia. Lebih-lebih ambisi orang yang tamak terhadap kedudukan dan orang yang diperbudak hawa nafsunya. Ambisi mereka tidak akan bisa mereka dapatkan dengan sempurna kecuali dengan menyelisihi kebenaran dan sering menolaknya. Apabila seorang yang berilmu atau hakim berambisi terhadap jabatan dan mempertuhankan hawa nafsunya, maka ambisi tersebut tidak akan didapatkan dengan sempurna kecuali dengan menolak kebenaran…
Mereka pasti akan membuat-buat perkara yang baru dalam agama, disertai kejahatan-kejahatan dalam bermuamalah. Maka terkumpullah pada diri mereka dua perkara tersebut (kedustaan dan kejahatan).
Sungguh, mengikuti hawa nafsu itu akan membutakan hati, sehingga tidak lagi bisa membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Bahkan bisa terbalik, dia lihat yang bid’ah sebagai sunnah dan yang sunnah sebagai bid’ah. Inilah penyakit para ulama bila mereka lebih memilih dunia dan diperbudak oleh hawa nafsunya.” (Al-Fawaid, hal 243-244)
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.”
Wallahu ‘alam bish-shawab.

Wanita beriman adlh wanita yg memiliki sifat malu

Kalau kita jalan-jalan ke mall atau pusat pertokoan, maka kita akan melihat suatu pemandangan yang sudah tidak asing lagi dimata kita, dimana, sebagian wanita, baik itu dari kalangan remaja, dewasa dan bahkan ada dari golongan karyawati kantor, yang berpakaian ketat membentuk tubuh atau mengenakan pakaian yang tipis dan mini.  Padahal Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam telah bersabda : Dua golongan termasuk ahli neraka, aku belum pernah melihat mereka; satu kaum (penguasa) yang membawa cambuk (besar) seperti ekor sapi, dengannya mereka memukuli manusia (maksudnya, penguasa yang zolim), dan kaum wanita yang berpakaian tetapi telanjang, menggoda dan menyimpang, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk syurga dan tidak akan mendapati aromanya, padahal aromanya bisa didapat dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim).
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: ”….Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59)
Para wanita pengumbar aurat ibarat orang yang tidak punya malu. Perempuan seperti itu, ada kita temui dari kalangan artis, walau tidak semua artis seperti itu. Ada beberapa artis yang tidak malu memamerkan keelokan tubuhnya. Contohnya, ada penyanyi dangdut berpakaian sangat ketat yang beraksi di panggung dengan menggoyang-goyangkan seluruh tubuhnya, terutama bagian yang sangat sensistif.  Ketika ada reaksi kritikan dari Ulama dan ummat Islam, aksi maksiat menggoncang syahwat itu justru lebih digencarkan lagi oleh orang-orang yang menjadikan maksiat sebagai alat melawan Islam. Inikah orang-orang yang disebut oleh Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, sebagai orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras), dan musik-musik?  Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, telah menyatakan: Pasti akan ada di antara ummatku kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan musik-musik”. (HR. Bukhari).
Nabi SAW, telah mengingatkan secara tegas, hadist yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid ra: Rasulullah SAW, bersabda, maksud Hadist: “Tidak ada fitnah yang paling membahayakan kaum lelaki setelah sepeninggalku kecuali fitnah dari kaum wanita” . (HR. Bukhari dan Muslim).
Perhatikan hadits Rasulullah SAW berikut ini:: “Akan ada di akhir ummatku orang-orang yang naik di atas pelana seperti layaknya orang-orang besar, mereka singgah di depan pintu-pintu masjid, WANITA-WANITA MEREKA BERPAKAIAN NAMUN TELANJANG, di atas kepala mereka ada semacam punuk unta, LAKNATLAH MEREKA KARENA SESUNGGUHNYA MEREKA ITU TERLAKNAT (HR. Ahmad).
Berikut beberapa hadits tentang malu :
  1. Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. menjadikan sifat malu sebagai bagian dari cabang iman. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. bersabda, “Iman memiliki 70 atau 60 cabang. Paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan sifat malu adalah cabang dari keimanan.” (HR. Muslim dalam Kitab Iman, hadits nomor 51)
  2. Rasa malu adalah cabang dari iman. Sebagaimana Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam menyatakan: “Iman terdiri dari enam puluh cabang lebih dan rasa malu sebagian cabang dari iman (HR. Bukhori)
  3. Rasa malu sebagai hiasan semua perbuatan. Dalam hadits yang diriwayatkan Anas r.a. bahwa Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam telah bersabda: “Tidaklah ada suatu kekejian pada sesuatu perbuatan kecuali akan menjadikannya tercela dan tidaklah ada suatu rasa malu pada sesuatu perbuatan kecuali akan menghiasinya. (Musnad Ahmad)
  4. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda pada Al Asyaj al ‘Asry ; “Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai Allah yaitu kesabaran dan rasa malu. (Musnad ahmad)
  5. Diriwayatkan dari abdillah Ibni Mas’ud r.a. ia berkata, Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam telah bersabda pada suatu hari : “Milikilah rasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.! Kami (para sahabat) berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya kami alhamdulillah telah memiliki rasa malu. Rasulullah  Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda: ”Bukan sekedar itu akan tetapi barangsiapa yang malu dari Allah dengan sesungguhnya, hendaknya menjaga kepalanya dan apa yang ada di dalamnya, hendaknya ia menjaga perutnya dan apa yang didalamnya, hendaknya ia mengingat mati dan hari kehancuran. Dan barangsiapa menginginkan akhirat ia akan meninggalkan hiasan dunia. Barangisapa yang mengerjakan itu semua berarti ia telah merasa malu kepada allah dengan sesungguhnya.(Musnad Ahmad).
  6. Tentang kesejajaran sifat malu dan iman dipertegas lagi oleh Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi WasallamMalu dan iman keduanya sejajar bersama. Ketika salah satu dari keduanya diangkat, maka yang lain pun terangkat.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar. Menurut Hakim, hadits ini shahih dengan dua syarat-syarat Bukhari dan Muslim.)
  7. Karena itu, sifat malu membawa kebaikan bagi pemiliknya. “Al-hayaa-u laa ya’tii illa bi khairin, sifat malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan,” begitu kata Rasulullah SShalallaahu 'Alayhi Wasallam. (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5652)
  8. Dengan kata lain, seseorang yang kehilangan sifat malunya yang tersisa dalam dirinya hanyalah keburukan. Buruk dalam ucapan, buruk dalam perangai. Tidak bisa kita bayangkan jika dari mulut seorang muslimah meluncur kata-kata kotor lagi kasar. Bertingkah dengan penampilan seronok dan bermuka tebal. Tentu bagi dia surga jauh. Kata Nabi, “Malu adalah bagian dari iman, dan keimanan itu berada di surga. Ucapan jorok berasal dari akhlak yang buruk dan akhlak yang buruk tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi dalam Ktab Birr wash Shilah, hadits nomor 1932)
Wanita yang beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat malu tampak pada cara dia berbusana. Ia menggunakan busana takwa, yaitu busana yang menutupi auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat seorang wanita di hadapan pria adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan.
Ibnu Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya berjalan di tengah kaum lelaki dengan belahan dada tanpa penutup. Dan mungkin saja mereka juga memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah memerintahkan wanita muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.”
Menundukkan pandangan juga bagian dari rasa malu. Sebab, mata memiliki sejuta bahasa. Kerlingan, tatapan sendu, dan isyarat lainnya yang membuat berjuta rasa di dada seorang lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang setajam anak panah dan setiap lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu, Allah Azza Wa Jalla. memerintahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan sebagaian pandangan mereka.
Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini: Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur [24] : 31)
Karena itu bagi para wanita, pakailah pakaian yang yang sesuai syariat, tidak memakai wewangian secara berlebihan, batasi diri dalam berbicara dan menatap, serta jaga kewibawaan dalam beraktivitas. Ingatlah, tiada yang dapat meninggikan harga wanita melebihi sikap Iffah (menjaga kehormatan diri).
Islam tidak mengekang wanita. Seorang wanita bisa terlibat dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berpolitik, dan berbagai aktivitas lainnya. Islam hanya memberi frame dengan adab dan etika. Sifat malu adalah salah satu frame yang harus dijaga oleh setiap wanita muslimah yang meyakini bahwa Allah Azza Wa Jalla mengetahui pikiran isi hati yang tersimpan dalam dadanya.
Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk menghiasi diri dengan sifat malu. Dari mana sebenarnya energi sifat malu bisa kita miliki? Sumber sifat malu adalah dari pengetahuan kita tentang keagungan Allah. Sifat malu akan muncul dalam diri kita jika kita benar-benar menyadari bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Maha Melihat. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dari Penglihatan Allah. Segala lintasan hati dan pikiran, niat yang terbersit dalam hati kita, semua diketahui oleh Allah Azza Wa Jalla.
Jadi, sumber sifat malu adalah muraqabah. Muraqabah adalah menerapkan kesadaran bahwa Allah selalu melihat dan  mengawasi  kita dalam segala keadaan. Bahwa Allah selalu mengetahui apa yang kita rasakan, ucapkan dan kita perbuat . Sifat itu hadir setika kita merasa di bawah pantauan Allah Subhanahu wa Ta'alaa. Dengan kata lain, ketika kita dalam kondisi ihsan, sifat malu ada dalam diri kita. Apa itu ihsan? “Engkau menyembah Allah seakan melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” begitu jawaban Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. atas pertanyaan Jibril tentang ihsan.
Jadi, bila masih ada dari kita atau adik dan atau anak kita, yang dalam berpakain mengikuti trend busana yang lagi banyak digandrungi para remaja dengan pakaian minim, ketat, maka sebaiknya kita menegurnya dan mengarahkannya pada cara berpakian yang benar menurut ajaran agama Islam. Tentunya kita tidak ingin, anak, adik, saudara kita atau orang yang kita sayangi menjadi ahli neraka dan orang yang dilaknat, yang disebutkan dalam hadits di atas. Apalagi Allah Azza Wa Jalla telah menegaskan dalam firman-Nya di surah An Nuur ayat 31 (lihat diatas)

Bertemanlah dengan Orang-orang Shalih,,,,,,!!

Kepribadian atau perilaku seseorang biasanya sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya. Karena itu, tak salah jika dikatakan, “Bergaul dengan tukang minyak wangi akan kecipratan wanginya. Bergaul dengan ‘pandai besi’ akan terpercik apinya.”
Ini sebetulnya sesuai dengan sabda Baginda Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, sebagaimana penuturan Abu Musa al-Asy’ari ra., yang menyatakan, “Sesungguhnya kawan duduk dalam rupa orang yang shalih dan kawan duduk dalam rupa orang yang suka maksiat adalah seumpama tukang minyak wangi dan pandai besi. Tukang minyak wangi boleh jadi akan mencipratkan minyak wangi ke badanmu, atau engkau membeli minyak wangi dari dia, atau engkau mendapatkan bau harum dari dirinya. Adapun pandai besi boleh jadi memercikkan api ke bajumu atau engkau mendapati bau busuk dari dirinya.” (Mutaffaq ‘alaih).
Maknanya, bergaul dengan orang baik akan terbawa baik atau kecipratan kebaikannya. Sebaliknya, bergaul dengan orang jahat akan terbawa jahat atau kecipratan keburukannya. Dalam hal ini, seseorang biasanya akan mencontoh perilaku orang lain yang ada dalam lingkungan pergaulannya.
Di sisi lain, seseorang biasanya akan bergaul dengan orang yang ia sukai atau ia cintai, dan ia tidak akan bergaul dengan orang yang ia benci. Karena itu, mencintai kebajikan dan para pelakunya, itulah yang sejatinya harus ditunjukkan oleh seorang Muslim. Sebab, Baginda Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam pernah bersabda kepada Abu Dzar ra., “Anta ma’a man ahbabta (Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai).” (HR al-Bazzar).
Seorang Muslim yang baik sejatinya memahami benar ungkapan dan hadits di atas. Karena itu, dalam kehidupan kesehariannya, ia akan banyak bergaul dengan orang-orang shalih dan bertakwa; bukan banyak bergaul dengan para pendosa dan tukang maksiat. Dengan kata lain, ia akan selalu ber-mujalasah (duduk-duduk atau bergaul) dengan para pelaku kebajikan (ahl al-khayr), bukan dengan para pelaku keburukan (ahl al-ma’shiyah). Dalam hal ini, Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda, “Al-Mar’u ‘ala dini khalilihi, falyanzhur ahadukum man yukhalilu (Seseorang itu bergantung pada agama  sahabatnya. Karena itu, hendaklah salah seorang di antara kalian memperhatikan dengan siapa ia bersahabat).” (HR Abu Dawud).
Hadits ini menunjukkan dengan tegas konsekuensi dari persahabatan seseorang, baik dengan orang yang baik ataupun dengan orang yang buruk. Sahabat yang paling dekat bagi seseorang tentu saja adalah istri/suaminya. Sebab, kehidupan suami-istri sesungguhnya adalah kehidupan persahabatan. Karena itulah, terkait dengan mencari pasangan dalam rangka membangun kehidupan rumah tangga, Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam pernah memberikan tuntunan, “Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya; karena keturunannya; karena kecantikannya; karena agama (ketakwaan)-nya. Maka dari itu, carilah wanita (untuk dijadikan istri) yang bagus agamanya, niscaya engkau beruntung.” (Muttaffaq ‘alaih).
Beberapa sabda Baginda Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam di atas tegas mengajari kita untuk selalu bergaul dan bersahabat dengan orang-orang yang shalih atau yang bagus agamanya. Dalam kesempatan lain Baginda Rasulullah SAW bersabda, “La tushahib illa mu’min[an] wala ya’kul illa taqiy[un] (Janganlah engkau bersahabat kecuali dengan orang Mukmin. Janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Maknanya, kita harus banyak bergaul dan bersahabat dengan orang Mukmin dan bertakwa. Lebih baik lagi, seorang Muslim hendaklah banyak bergaul dengan para ulama dan para pengemban dakwah yang mukhlish. Sebab, dengan banyak bergaul dengan mereka, selain kita akan menjadi orang-orang shalih  atau berperilaku baik, juga memungkinkan diri kita menjadi mushlih, yakni terdorong untuk selalu melakukan perbaikan di tengah-tengah masyarakat. Jika kita tidak sanggup bergaul dengan mereka, maka cintailah mereka, jangan memusuhi mereka. Sebab, sabda Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, “Al-Mar’u ma’a man ahabba (Seseorang akan bersama dengan orang yang dia cintai).” (Mutaffaq ‘alaih).
Selain itu, ada riwayat penuturan Anas ra, bahwa seorang Arab pedalaman pernah bertanya kepada Baginda Rasulullah, “Kapan Hari Kiamat?” Baginda balik bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi Kiamat?” Ia menjawab, “Cintaku kepada Allah dan Rasul-Nya.” Lalu Baginda bersabda, “Engkau akan bersama dengan yang engkau cintai.” (Mutaffaq ‘alaih).
Semoga kita terbiasa bergaul dengan orang-orang shalih, khususnya para ulama dan pengemban dakwah yang mukhlish. Jika tak sanggup maka cintailah mereka dan jangan sampai membenci mereka. Jika sampai kita membenci mereka, sungguh tak ada lagi kebaikan sedikitpun yang bisa kita raih. Wama tawfiqi illa billah.