Mampu menjalankan puasa Ramadhan bagi orang dewasa adalah anugerah.
Sebab boleh jadi, pada hari-hari normal sangat sulit bisa menyempatkan
diri puasa sunah, Senin-Kamis misalnya. Entah karena beratnya pekerjaan
maupun tingginya godaan setan. Namun suasana Ramadhan membantunya
menjalani puasa penuh khidmat. Lagi pula, orang dewasa sudah berpuluh
kali menjalani puasa Ramadhan sehingga sudah tahu apa tujuan, makna dan
faedah puasa. Tapi, bagaimana dengan anak-anak? Haruskah mereka
berpuasa? Apa faedahnya?
Bagi orang tua, membolehkan puasa
Ramadhan bagi anak-anak terkadang menjadi dilema. Terlebih bagi ibu,
dalam hati kecilnya tak tega menyuruh anak berpuasa, terutama bila usia
anak tergolong balita atau anak usia dini. Mereka masih dalam masa
pertumbuhan sehingga puasa dikhawatirkan mengganggu proses tumbuh
kembangnya. Sebab, anak butuh energi besar untuk mengimbangi gerak-gerik
mereka yang sangat aktif. Biasanya, anak sedang gemar makan atau
ngemil. Termasuk minum susu dengan frekuensi cukup sering. Kalau puasa,
bagaimana dengan asupan gizinya? Tidakkah mengganggu pertumbuhannya
fisik dan mentalnya?
Perlu dipahami, anak-anak yang mencoba untuk
ikut berpuasa, sesungguhnya sedang dilatih untuk berdisiplin.
Berdisiplin untuk bangun sahur pada malam hari, makan tepat waktu
berbuka dan menahan nafsu. Termasuk sebagai latihan untuk taat pada
perintah agama.
Latihan ini bukan hanya pada menahan lapar, tapi
lebih penting pada esensi berpuasa itu sendiri. Karenanya, bila memang
belum waktunya anak puasa penuh, biarlah mereka berbuka di tengah hari.
Pembiasaan
puasa juga bisa mendidik anak-anak untuk jujur, misalnya mereka tetap
berpuasa sekalipun teman-temannya di sekolah tidak. Kalaupun karena
tidak kuat menahan lapar atau godaan teman ia terpaksa berbuka di luar
rumah, anak juga bisa diajar untuk berterus-terang, bukan berbohong dan
malu mengakuinya.
Insya Allah, puasa tidak akan mengganggu
metabolisme tubuh mereka. Asalkan, puasa yang diterapkan pada anak
memperhatikan usia dan kondisi fisik maupun psikis si anak. Artinya,
jangan memaksakan puasa pada anak seperti puasanya orang dewasa, yakni
mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
Nah, untuk
melatih anak menjalani puasa, butuh kesiapan fisik dan psikis jauh-jauh
hari sebelum Ramadhan. Berpuasa bagi anak bukan agenda dadakan. Orang
tua wajib melakukan pendekatan kepada anak jauh sebelum bulan Ramadhan
tiba.
Berikan pemahaman sesuai usia anak, mengenai hakikat puasa.
Bagi balita misalnya, boleh jadi puasa diterapkan untuk mengerem mereka
dari kebiasaan jajan. Toh selain boros, cemilan anak kebanyakan tak
menyehatkan. Jadi, makan pokok tetap jalan, tapi di luar itu katakan
puasa. Misalnya sejak sarapan sampai makan siang, itulah jadwal
puasanya. Dilanjutkan hingga waktu makan pokok di sore atau malam hari.
Lakukan
pula pendekatan ruhiyah, bahwa puasa akan membuatnya sehat dan
disayangi Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Jika disayang Allah, doa apapun akan dikabulkan dan
akan masuk surga. Pahamkan pula dengan tata cara puasa, seperti harus
bangun pagi, harus berbuat baik, tidak boleh ngomong jorok, dll.
Ajarkan
doa-doa dan tata cara ibadah pada Ramadhan seperti shalat tarawih,
tadarus, mempersiapkan buku-buku video Islami dan permainan edukatif.
Ya, awal puasa biasanya anak libur sekolah sehingga dimanfaatkan untuk
bermain. Apalagi puasa pertama, karena berat, untuk alihkan dengan
bermain.
Hari pertama ini, mungkin agak sulit bagi anak. Bisa
jadi puasanya baru sebatas sampai jam 9, 10 atau 11 pagi. Tingkatkan
terus batas puasanya sesuai kemampuan mereka. Karena itu orangtua juga
harus jeli melihat tanda-tanda batas kesanggupan anak. Karena tak
dipungkiri juga jika lingkungan memengaruhi sikap anak.
Jangan
paksakan akan puasa hingga sempurna, hanya karena mengejar gengsi atau
ambisi orangtua. “Anak saya dong, baru empat tahun, puasanya kuat sampai
maghrib,” begitu celoteh ibu-ibu.
Sebab bila dipaksa, justru
anak akan trauma. Mereka bisa jadi malah menganggap puasa itu menyiksa.
Ingat, memori pada usia dini akan terekam terus hingga dewasa. Jangan
karena trauma, anak sampai dewasa justru enggan puasa. Atau jika
berpuasa, tidak jujur. Misalnya tanpa sepengetahuan orangtua malah makan
atau jajan.
Sementara itu, asupan gizi dan vitamin dari
makanan, harus berkualitas. Idealnya menu sahur dan buka puasa harus
lengkap, mengandung seluruh vitamin dan mineral yang dibutuhkan anak.
Makanan juga harus fresh, sehingga kandungan gizinya terjaga. Dengan
begitu, meski frekuensi makannya berkurang, tapi kebutuhan akan zat-zat
penting pembangun tubuh tetap terpenuhi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar