Senin, 23 Juli 2012

Membimbing anak berpuasa

Mampu menjalankan puasa Ramadhan bagi orang dewasa adalah anugerah. Sebab boleh jadi, pada hari-hari normal sangat sulit bisa menyempatkan diri puasa sunah, Senin-Kamis misalnya. Entah karena beratnya pekerjaan maupun tingginya godaan setan. Namun suasana Ramadhan membantunya menjalani puasa penuh khidmat. Lagi pula, orang dewasa sudah berpuluh kali menjalani puasa Ramadhan sehingga sudah tahu apa tujuan, makna dan faedah puasa. Tapi, bagaimana dengan anak-anak? Haruskah mereka berpuasa? Apa faedahnya?

Bagi orang tua, membolehkan puasa Ramadhan bagi anak-anak terkadang menjadi dilema. Terlebih bagi ibu, dalam hati kecilnya tak tega menyuruh anak berpuasa,  terutama bila usia anak tergolong balita atau anak usia dini. Mereka masih dalam masa pertumbuhan sehingga puasa dikhawatirkan mengganggu proses tumbuh kembangnya. Sebab, anak butuh energi besar untuk mengimbangi gerak-gerik mereka yang sangat aktif. Biasanya, anak sedang gemar makan atau ngemil. Termasuk minum susu dengan frekuensi cukup sering. Kalau puasa, bagaimana dengan asupan gizinya? Tidakkah mengganggu pertumbuhannya fisik dan mentalnya?

Perlu dipahami, anak-anak yang mencoba untuk ikut berpuasa, sesungguhnya sedang dilatih untuk berdisiplin. Berdisiplin untuk bangun sahur pada malam hari, makan tepat waktu berbuka dan menahan nafsu. Termasuk sebagai latihan untuk taat pada perintah agama.

Latihan ini bukan hanya pada menahan lapar, tapi lebih penting pada esensi berpuasa itu sendiri. Karenanya, bila memang belum waktunya anak puasa penuh, biarlah mereka berbuka di tengah hari.

Pembiasaan puasa juga bisa mendidik anak-anak untuk jujur, misalnya mereka tetap berpuasa sekalipun teman-temannya di sekolah tidak. Kalaupun karena tidak kuat menahan lapar atau godaan teman ia terpaksa berbuka di luar rumah, anak juga bisa diajar untuk berterus-terang, bukan berbohong dan malu mengakuinya.

Insya Allah, puasa tidak akan mengganggu metabolisme tubuh mereka. Asalkan, puasa yang diterapkan pada anak memperhatikan usia dan kondisi fisik maupun psikis si anak. Artinya, jangan memaksakan puasa pada anak seperti puasanya orang dewasa, yakni mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Nah, untuk melatih anak menjalani puasa, butuh kesiapan fisik dan psikis jauh-jauh hari sebelum Ramadhan. Berpuasa bagi anak bukan agenda dadakan. Orang tua wajib melakukan pendekatan kepada anak jauh sebelum bulan Ramadhan tiba.

Berikan pemahaman sesuai usia anak, mengenai hakikat puasa. Bagi balita misalnya, boleh jadi puasa diterapkan untuk mengerem mereka dari kebiasaan jajan. Toh selain boros, cemilan anak kebanyakan tak menyehatkan. Jadi, makan pokok tetap jalan, tapi di luar itu katakan puasa. Misalnya sejak sarapan sampai makan siang, itulah jadwal puasanya. Dilanjutkan hingga waktu makan pokok di sore atau malam hari.

Lakukan pula pendekatan ruhiyah, bahwa puasa akan membuatnya sehat dan disayangi Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Jika disayang Allah, doa apapun akan dikabulkan dan akan masuk surga. Pahamkan pula dengan tata cara puasa, seperti harus bangun pagi, harus berbuat baik, tidak boleh ngomong jorok, dll.

Ajarkan doa-doa dan tata cara ibadah pada Ramadhan seperti shalat tarawih, tadarus, mempersiapkan buku-buku video Islami dan permainan edukatif. Ya, awal puasa biasanya anak libur sekolah sehingga dimanfaatkan untuk bermain. Apalagi puasa pertama, karena berat, untuk alihkan dengan bermain.

Hari pertama ini, mungkin agak sulit bagi anak. Bisa jadi puasanya baru sebatas sampai jam 9, 10 atau 11 pagi. Tingkatkan terus batas puasanya sesuai kemampuan mereka. Karena itu orangtua juga harus jeli melihat tanda-tanda batas kesanggupan anak. Karena tak dipungkiri juga jika lingkungan memengaruhi sikap anak.

Jangan paksakan akan puasa hingga sempurna, hanya karena mengejar gengsi atau ambisi orangtua. “Anak saya dong, baru empat tahun, puasanya kuat sampai maghrib,” begitu celoteh ibu-ibu.

Sebab bila dipaksa, justru anak akan trauma. Mereka bisa jadi malah menganggap puasa itu menyiksa. Ingat, memori pada usia dini akan terekam terus hingga dewasa. Jangan karena trauma, anak sampai dewasa justru enggan puasa. Atau jika berpuasa, tidak jujur. Misalnya tanpa sepengetahuan orangtua malah makan atau jajan.

Sementara itu, asupan gizi dan vitamin dari makanan, harus berkualitas. Idealnya menu sahur dan buka puasa harus lengkap, mengandung seluruh vitamin dan mineral yang dibutuhkan anak. Makanan juga harus fresh, sehingga kandungan gizinya terjaga. Dengan begitu, meski frekuensi makannya berkurang, tapi kebutuhan akan zat-zat penting pembangun tubuh tetap terpenuhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar