Kamis, 07 Februari 2013

Makna kaya dan Miskin

Allah yang menciptakan manusia, menetapkan rejeki baginya, dan membagi-bagi rejeki dengan kasih sayang dan kemahabijaksanaan-Nya, Allah memberikan harta yang banyak kepada orang yang dikehendaki-Nya. Juga, memberi sedikit harta kepada orang yang dikehendaki-Nya

Orang yang memiliki harta yang banyak lalu disebut kaya sedangkan pemilik harta sedikit lantas disebut miskin "

Sebenarnya, siapakah si kaya itu dan siapakah si miskin itu?

Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya harta akan tetapi kekayaan itu adalah rasa cukup yang ada di dalam hati.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no.1051)

Orang yang disifati dengan ghina an-nafs (kekayaan jiwa) adalah orang yang qana’ah terhadap apa yang Allah rizkikan kepadanya,  dia tidak tamak untuk menumpuk-numpuk harta tanpa ada kebutuhan. Tidak pula dia meminta-minta kepada manusia dengan mendesak,  dia merasa ridha dengan apa yang diberikan Allah Ta'ala kepadanya, seakan-akan ia terus-menerus merasa berada dalam kecukupan.

Faqru an-nafs (kefakiran jiwa) adalah kebalikannya. krn dia tidak qana’ah thd apa yang diberikan kepadanya. selalu berusaha menimbun kekayaan dari mana saja arahnya, bila dia tidak mendapatkan apa yang ia cari, merasa sedih dan menyesal. Seakan-akan dia adalah orang yang tidak memiliki harta Karena dia tidak merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya, sehingga seakan-akan dia bukan orang yang kaya.” (Fathul Bari, 2/277

Bukanlah si miskin, orang yg berkeliling untuk meminta-minta kpd manusia spy diberi sesuap atau 2 makanan, sebutir atau 2 kurma, orang miskin itu adl orang yg tak punya kekayaan yg mencukupinya, tidak diketahui pula oleh orang lain, shg orang bersedekah kepadanya, Tidak pula dia berdiri untuk meminta-minta kepada orang lain. (HR. Al-Bukhari no.1479 dan Muslim no. 1472 dari Abu Hurairah )

Kecukupan dalam hati akan tumbuh dengan keridhaan terhadap qadha Allah dan berserah diri terhadap ketetapan-Nya, meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah Ta'ala adalah lebih baik dan kekal sehingga membawa dirinya berpaling dari tamak dan rakus serta meminta-minta kepada manusia.” (Fathul Bari, 2/277)







Tawakal Kepada Allah Ta'ala


Jika hati bersandar dan bertawakal kepada Allah, maka tidak takluk kpd bayang-bayang buruk dan tdk pula dikuasai oleh khayalan buruk..

Jika hati percaya penuh kepada Allah dan mendambakan karuniaNya, maka dengan itu segala kegelisahan dan kegundahan akan tertangkis penyakit luar maupun dlm akan hilang darinya, dan akan tercipta di hatinya kekuatan, kelapangan dan kegembiraan yang sulit terkatakan

Orang yang bertawaqal kepada Allah akan berhati kuat, tidak terpengaruh oleh bayangan buruk dan tdk pula terguncang oleh peristiwa pahit. mudah ketakutan dan terguncang adl tanda kelemahan jiwa, kekalahan serta ketakutan yang tidak ada wujud nyatanya.

Allah telah menjamin org yg bertawakal kepadaNya. akan mencukupi dengan sempurna. mk, hatipun percaya, tenteram dan yakin dg janjiNya. Kesulitan berganti menjadi kemudahan, kesedihan berganti jadi kegembiraan, dan kekhawatirannya berganti menjadi rasa aman dan tenteram.

Semoga Allah mengaruniai kita kesejahteraan, kekuatan dan keteguhan hati. Smoga kita terus ditolong untuk mampu bertawakal padaNYA







Rabu, 06 Februari 2013

Diam agar lisan lbh terjaga, terhindar dari dosa

Teringat hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kitab sahih Muslim tentang bencana lidah

Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam "  “Orang Islam yang bagaimanakah yang paling baik?” Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam "  “Ialah orang-orang yang menjaga orang-orang Islam lainnya dari bencana lidah dan perbuatannya”. (HR. Muslim 0033)

karena lisan seseorang bisa terjerumus dalam jurang kebinasaan. Lihatlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ketika berbicara dengan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu

Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku: “Iya, wahai Rasulullah.” Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda, “Jagalah ini”. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda, “Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi no. 2616)

Dimana pada kondisi tertentu kita harus lebih banyak diam, diam dalam rangka lebih banyak mendengar, menyimak dengan sebaik mungkin.

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47).

Oleh karena itu, selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, merenungkan apa yang akan ia ucap. Jika memang ada manfaatnya, barulah ia berbicara. Jika tidak, hendaklah dia menahan lisannya.”

Sebab ketika berucap kata pun belum tentu tepat dan bermanfaat. Sehingga diam menjadi pilihan, meski begitu, diam haruslah diiringi dengan upaya mencerna kata demi kata, mengambil apa saja yang terbaik darinya

Dan kita pun menyadari bahwa mulut ini begitu rentan terhadap dosa-dosa, sehingga kita harus menjaganya.
adalah hal yg harus disesali, ketika menghadapi perilaku yg tak pantas diri ini blm bisa bersikap sebaik mungkin.

Padahal jika tak mampu berkata baik maka diam lebih utama. Agar lisan lebih terjaga, terhindar dari dosa
memang dorongan nafsu seringkali mengarahkan pada sikap melampaui batas. Hilang kendali, dengan topeng menjaga reputasi

Karenanya diri ini harus lebih berhati-hati jika terjebak dalam alunan caci, maka belajarlah untuk menahan diri, diberbagai kondisi yg beragam, pasti berbeda pula orang dalam mengerti suatu pembicaraan

Semoga dilain kesempatan pribadi yg rapuh ini lebih mampu menahan diri, menjaga lisan agar tetap pada jalan kebaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam "  bersabda, “Siapa yang iman dengan Allah dan hari kiamat, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya. Siapa yang iman dengan Allah dan hari kiamat, hendaklah dia memuliakan tetamunya, dan siapa yang iman dengan Allah dan hari kiamat, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Muslim 0038 & 0039)

Dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Tidak ada perkataan yang bersifat pertengahan antara bicara dan diam. Yang ada, suatu ucapan boleh jadi adalah kebaikan sehingga kita pun diperintahkan untuk mengatakannya. Boleh jadi suatu ucapan mengandung kejelekan sehingga kita diperintahkan untuk diam.”

Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Tidak ada di muka bumi yang lebih berhak untuk dipenjara dalam waktu yang lama daripada lisan.” (Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Ibnul Mubarok ditanya mengenai nasehat Luqman pada anaknya, lantas beliau berkata, “Jika berkata (dalam kebaikan) adalah perak, maka diam (dari berkata yang mengandung maksiat) adalah emas.” (Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Hikmat di saat diam
Diamnya seseorang jika dia berilmu akan dapat menambah ilmunya dan wibawanya...
Pembicaraannya terbatasi pada perkara yang ada manfaat bagi dirinya maupun orang lain..


Hikmat di saat diam
Bagi orang yang tidak berilmu diamnya adalah tabir untuk menutupi kebodohannya..
Pembicaraannya terbatasi supaya dunia tidak menjadi rusak dengan sepatah dua patah kata darinya..