Suatu ketika Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, sebagaimana dituturkan oleh Anas
ra, menemukan sebutir kurma di jalanan. Beliau kemudian bersabda,
“Sesungguhnya kalau aku tidak khawatir kurma ini adalah bagian dari
kurma sedekah, aku pasti memakannya.” (HR Mutaffaq ‘alaih).
Meski
dalam bentuk khabar (kalimat berita), hadits di atas sesungguhnya
mengandung perintah agar kita menjauhi dan meninggalkan perkara-perkara
syubhat (samar, yakni yang belum jelas status hukumnya bagi seseorang,
pen.).
Dalam riwayat lain Baginda Rasululullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam pun bersabda,
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang haram pun
jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar) yang tidak
diketahui oleh kebanyakan manusia. Karena itu, siapa saja yang takut
terjatuh pada perkara syubhat berarti dia telah membersihkan agama dan
kehormatannya. Siapa saja yang melakukan perkara-perkara syubhat berarti
dia menjatuhkan diri pada keharaman. Dia seperti seorang penggembala
yang menggembalakan hewannya di sekitar hima (wilayah larangan), lalu
dia tiba-tiba (tanpa disadari, pen.) memasukinya.” (HR Mutaffaq ‘alaih).
Hadits di atas setidaknya meneguhkan dua hal: Pertama: status hukum
halal dan haram sesungguhnya telah sangat jelas ditunjukkan oleh
nash-nash syariah bagi siapapun yang mau memahaminya (Lihat: Muhammad
‘Alan, Dalil al-Falihin, III/23-24). Kedua: Meski juga dalam bentuk
khabar (kalimat berita), hadits ini pun mengandung perintah kepada kita
untuk menjauhi dan meninggalkan perkara-perkara syubhat. Bahkan dalam
hadits ini terdapat pernyataan tegas, bahwa siapa saja yang mendekati
apalagi sampai terjatuh pada perkara-perkara syubhat, sama saja dengan
mendekati atau menjatuhkan diri pada perkara-perkara haram.
Hadits ini amat dipahami dan tentu diamalkan oleh generasi sahabat dan
salafush-shalih. Banyat riwayat atau kisah bagaimana mereka bersikap
wara’ (menahan diri) bukan saja dari perkara-perkara yang haram, tetapi
juga perkara-perkara yang syubhat. Abu Bakar ra, misalnya, adalah
seorang sahabat yang amat hati-hati dalam hal makanan. Namun,
sebagaimana penuturan Aisyah ra, suatu ketika ia pernah memakan suatu
makanan tanpa terlebih dulu bertanya dari mana asal makanan tersebut.
Saat ia diberitahu bahwa makanan itu berasal dari pemberian seorang
dukun, ia segera memasukkan jari-jemari tangannya ke dalam
mulut/tenggorokkannya. Ia segera memuntahkan kembali makanan tersebut
(HR al-Bukhari).
Hal yang sama—sikap wara’ dan kehati-hatian
dari perkara-perkara yang syubhat—juga ditunjukkan oleh Umar bin
al-Khaththab ra. Ia pernah memuntahkan kembali air susu yang telanjur
diminumnya setelah tahu air susu itu diduga berasal dari unta sedekah.
Bahkan ada riwayat, saat Umar bin al-Khaththab ra menjadi khalifah, ia
pernah mendapatkan hadiah minyak wangi kesturi dari Bahrain. Ia segera
meminta di antara sahabat yang bersedia, untuk menakar sekaligus
membagi-bagikan minyak wangi kesturi itu kepada kaum Muslim. Saat itu,
istrinya, Atikah ra, yang pertama kali menawarkan diri. Namun, beliau
sama sekali mengabaikannya. Sampai tiga kali istrinya menawarkan diri,
ia tetap mengabaikan istrinya. Ia kemudian, berkata, “Aku tidak suka
kamu meletakkan tanganmu di atas timbangan, lalu kamu menyapu-nyapukan
tanganmu yang berbau kesturi itu ke badanmu, karena dengan demikian
berarti aku mendapatkan lebih dari hakku yang halal.” (Al-Kandahlawi,
Fadha’il A’mal, hlm. 590).
Demikianlah sikap wara’
(kehati-hatian) Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, Abu Bakar ra, Umar bin
al-Khaththab ra dan banyak sahabat yang lain. Bahkan banyak di antara
mereka bukan saja bersikap wara’ terhadap perkara-perkara syubhat,
tetapi juga terhadap perkara-perkara mubah (halal) yang tidak mengandung
manfaat. Ini pun sebagai bentuk pengamalan mereka terhadap sabda
Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, “Di antara baiknya keislaman seorang Muslim
adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR Malik, at-Tirmidzi,
Ibn Majah, Ahmad).
Bagaimana dengan generasi Muslim hari ini?
Tampaknya, generasi Muslim hari ini sudah sangat jauh berbeda dengan
generasi Muslim awal. Saat ini, jangankan perkara-perkara syubhat,
perkara-perkara yang nyata-nyata haram pun telah banyak dilanggar.
Jangankan dosa-dosa kecil, dosa-dosa besar pun seolah ringan dilakukan.
Tak terhitung lagi kasus korupsi, zina, pelacuran, pemerkosaan, riba,
pembunuhan, perampokan, penculikan, penipuan dan berbagai kejahatan lain
dilakukan. Padahal banyak pelakunya mengaku Muslim. Yang lebih parah
adalah mereka yang bernani menghalalkan apa yang Allah haramkan atau
mengharamkam apa yang Allah halalkan. Hal demikian hanyalah konsekuensi
belaka dari sistem demokrasi—yang memberikan kewenangan membuat hukum
kepada manusia—yang diterapkan di negeri-negeri Muslim, termasuk di
negeri ini. Wal ‘iyadzu bilLah.
Wa ma tawfiqi illa bilLah
Sabtu, 21 Juli 2012
Kristen Terpecah Dalam Sekte-sekte
Sekilas kita mungkin melihat bahwa
mereka bersatu. Sebetulnya tidak. Kristen terpecah belah menjadi
berbagai aliran dalam jumlah yang sangat banyak. Bahkan dikatakan lebih
dari 230 sekte/aliran. Itu baru yang di Indonesia saja. Di tiap wilayah
mereka mengadopsi kebudayaan-kebudayaan setempat. Dan antara satu aliran
dengan aliran yang lain tak jarang mempunyai perselisihan yang sangat
tajam.
Kristen mula-mula terbagi atas lima
wilayah yang berbeda yakni komunitas Kristen di Yerusalem, Antiokia,
Aleksan-dria, Konstantinopel, dan Roma. Masing-masing komunitas ini
mempunyai perbedaan signifikan dalam mendefinisikan siapa Allah, siapa
Yesus, siapa Perawan Maria.
Untuk itulah kemudian diseleng-garakan
Konsili Nicea th 325M. Konsili ini sarat kepentingan politis Kaisar
Kons-tantin untuk menyelamatkan imperiumnya yang diambang kehancuran
akibat konflik perbedaan aqidah.
Di konsili inilah terjadi perdebatan
sengit tentang status Yesus (sebagai manusia atau sebagai Tuhan). Dan
akhir-nya atas pengaruh kuat Konstantin, Yesus akhirnya diresmikan
statusnya sebagai Tuhan. Lalu gereja dilembagakan secara formal.
Hierarki gereja disusun secara bertingkat-tingkat dipimpin langsung oleh
Konstantin. Paus pertama adalah Konstantin. Inilah awal dari gereja
Katholik.
Kemudian terjadi perpecahan-perpecahan besar (skisma) dalam struktur gereja menurut sejarah yang tercatat sebagai berikut.
Perpecahan pada saat Konsili Efesus th.431, yang menyatakan status Perawan Maria sebagai Theotokos (Bunda Allah) disini Gereja Asiria Timur memisahkan diri. Perpecahan pada Konsili Khalsedon (th.451), Gereja Ortodoks Oriental memi-sahkan diri. Perpecahan besar pada abad 11. Penyebabnya adalah perbedaan dok-trin ketuhanan dan perebutan kekuasaan duniawi.
Gereja Katolik pun terbagi menjadi dua, yaitu "Barat" dan "Timur". Inggris, Prancis, Roma dan negara-negara Skan-dinavia termasuk Gereja "Barat" (Gereja Katolik Roma). Sedangkan Yunani, Rusia, Suriah, Mesir termasuk dalam Gereja "Timur" (Gereja Ortodoks). Perpecahan ini dikenal sebagai Skisma Barat-Timur.
Perpecahan pada saat Konsili Efesus th.431, yang menyatakan status Perawan Maria sebagai Theotokos (Bunda Allah) disini Gereja Asiria Timur memisahkan diri. Perpecahan pada Konsili Khalsedon (th.451), Gereja Ortodoks Oriental memi-sahkan diri. Perpecahan besar pada abad 11. Penyebabnya adalah perbedaan dok-trin ketuhanan dan perebutan kekuasaan duniawi.
Gereja Katolik pun terbagi menjadi dua, yaitu "Barat" dan "Timur". Inggris, Prancis, Roma dan negara-negara Skan-dinavia termasuk Gereja "Barat" (Gereja Katolik Roma). Sedangkan Yunani, Rusia, Suriah, Mesir termasuk dalam Gereja "Timur" (Gereja Ortodoks). Perpecahan ini dikenal sebagai Skisma Barat-Timur.
Skisma berikutnya terjadi pada abad
ke-16 karena lahirnya gerakan Reformasi Pro-testan. Sehingga Gereja
Katholik terpecah menjadi Katholik Roma, Anglikan, Protestan dan
Anabaptis. Protestan mempunyai sangat banyak aliran dan tidak mempunyai
kepemimpinan yang terpusat seperti Katholik Roma. Dan hingga saat ini
perpecahan di tubuh Protestan masih terus berlangsung.
Di Indonesia. Setidaknya ada sem-bilan
aliran Kristen pecahan dari Protestan antara lain: Lutheran, Calvinis,
Baptis, Methodis, Pentakostal, Kharismatik, Injili (Evangelical),
Adventis, dan Saksi Yehova. Yang masing-masing terdiri atas
gereja-gereja yang walaupun mengaku beraliran sama tapi karena muatan
budaya yang berbeda dan dalam beberapa hal lain masih berbeda sehingga
tidak mau untuk disatukan.
Aliran Lutheran: HKBP, GKPS, GPKB, GKPI, HKI, GKLI, GKPA dan GKPM; semuanya (kecuali GPKB) berkantor pusat di Sumatera Utara dan sekitarnya.
Aliran Calvinis: GPM,
GMIM, GMIT, GPIB, GBKP, GKI (Jabar, Jateng, Jatim), GKP, GKJ, GKJW,
GKPB, GKS, GMIST, GKST, Gereja Toraja, GTM, GKSS, GEPSULTRA, GMIH.
Aliran Baptis:
Persekutuan Gereja-gereja Baptis Irian Jaya (PGBIJ), Gabungan Gereja
Baptis Indonesia (GBI), Gereja Per-himpunan Injili Baptis Indonesia
(GPIBI), Kerapatan Gereja Baptis Indonesia (KGBI), Gereja Baptis
Independent di Indonesia (GBII), dan Sinode Gereja Kristen Baptis
Jakarta.
Aliran Methodis: Gereja/aliran Metodis kebanyakan terdapat di Suma-tera.
Aliran Pentakostal:
Gereja Isa Al-masih (GIA), Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Gereja
Pentakosta Pusat Surabaya (GPPS), Gereja Gerakan Pentakosta (GGP),
Gereja Bethel di Indonesia (GBI), dan Gere-ja Tuhan di Indonesia
(GTdI).Aliran Kharismatik: Gereja Kharis-matik, Gereja Karmel (Cianjur).
Aliran Injili (Evangelical): Perseku-tuan Injili Indonesia (PII).
Aliran Adventis: Gereja Advent.
Aliran Saksi Yehova.
Aliran Injili (Evangelical): Perseku-tuan Injili Indonesia (PII).
Aliran Adventis: Gereja Advent.
Aliran Saksi Yehova.
Sebenarnya Allah SWT telah
memperingatkan kita dalam Alquran bahwa seolah-olah mereka bersatu
tetapi sesungguhnya mereka berpecah-belah. Mereka saling bermusuhan
antara satu dengan yang lain.”Mereka tidak akan memerangi kamu dalam
keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau
di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat.
Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang
demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak
mengerti.” (TQS. Al Hasyr: 14).
Kekuatan mereka ibarat jaring laba-laba,
terlihat besar namun sangat rapuh. Maka sudah saatnya kini kita
bersatu. Jangan mengafirkan atau menyesatkan saudara sesama Muslim hanya
karena perbedaan furu'iyah.[
Selasa, 17 Juli 2012
Tata Cara Shalat Tarawih dan Witir
Seputar Sholat
Tarawih dan Qunut Witir
Sholat Tarawih
Syaikh Nashiruddin Al-Albani telah
menjelaskan perincian tentang tata cara shalat tarawih dalam kitab “Shalat
Tarawih” (hal.101-105), kemudian disini diringkasnya untuk mempermudah pembaca
dan sebagai peringatan.
Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.
Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.
Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.
Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.
Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.
Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.
Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.
Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.
Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.
Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.
Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.
Inilah tata cara yang terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara jelas, dan dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi pada setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat, barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194, setelah menyebutkan hadist Aisyah dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan shalat dengan jumlah yang ana dari yang diasukai dari yang telah diriwayatkan daari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida larangan bagi siapapun padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai dengan apa yang kita pilih yang konsisten dengan jumlah yang shahih. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menambahinya. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku meminta Nya untuk menambahi keutamaan-Nya.] [1].
Shalat 5 dan 3 rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya dengan 1 kali duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada cara kedua, boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat seperti pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik[2]. Adapun shalat yang 5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat tanpa salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan sabda beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib...” (diriwayatkan At-Thahawi dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih” hal 99-110) .
Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat kedua –pent).
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh
Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar
Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Bacaan pada witir yang Tiga rakaat
Diantara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca pada
rakaat pertamanya surat Al-A’la dan kedua membaca surat Al Kafirun dan pada
rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan terkadang menambahkan dengan surat
Al-Alaq dan An-Naas. Telah terdapat pula dalam riwayat yang shahih bahwa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat witir dengan 100 ayat
dari surat An-Nisa’. (Riwayat An-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang shahih).
Doa Qunut witir dan tempatnya
Doa Qunut witir dan tempatnya
Sesudah membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang beliau
melakukan qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali, yaitu :
اَللَّهُمَّ
اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ
تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ،
فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، إِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ،
[وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ[، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْت.
“Ya Allah! Berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri
petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai)
sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang
yang telah Engkau sayangi. Berilah berkah apa yang Engkau berikan kepadaku,
jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan, sesungguhnya Engkau yang
menjatuhkan qadha, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepadaMu.
Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan orang yang Engkau
musuhi tidak akan mulia. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi
Engkau.” [HR. Empat penyusun kitab Sunan, Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Al-
Baihaqi. Sedang doa yang ada di antara dua kurung, menurut riwayat Al-Baihaqi.
Lihat Shahih At-Tirmidzi 1/144, Shahih Ibnu Majah 1/194 dan Irwa’ul Ghalil,
oleh Al- Albani 2/172.]
Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku', juga menambah melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar radhiyallahu ‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul Qari’ : Dan mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan –pent)” :
Dan tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku', juga menambah melaknati orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari bulan ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar radhiyallahu ‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul Qari’ : Dan mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan –pent)” :
"اللهم قا تل الكفرة الذين يصدون عن سبيلك ويكذبون رسلك, ولا يؤمنون بوعدك, وخالف بين كلمتهم, وألق في قلوبهم الرعب, وألق عليهم رجزك وعذا بك, يا اله الحق"
“Ya Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu
dan mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai beraikan
persatuan mereka, lemparkan rasa takut pada hati mereka, dan lemparkan adzab-Mu
atas mereka wahai Illah yang haq.”
Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :
Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :
اَللَّهُمَّ إيـَّاكَ
نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ،
نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكَافِرِيْنَ
مُلْحَقٌ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُثْنِيْ
عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْضَعُ لَكَ،
وَنَخْلَعُ مَنْ يَكْفُرُكَ.
“Ya Allah! KepadaMu kami menyembah. UntukMu kami melakukan shalat dan
sujud. KepadaMu kami berusaha dan melayani. Kami mengharapkan rahmatMu, kami
takut pada siksaanMu. Sesungguhnya siksaanMu akan menimpa pada orang- orang
kafir. Ya, Allah! Kami minta pertolongan dan minta ampun kepadaMu, kami memuji
kebaikanMu, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami beriman kepadaMu, kami tunduk
padaMu dan berpisah pada orang yang kufur kepadaMu.” [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, sanadnya
menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211. Syaikh Al-Albani dalam
Irwa’ul Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf pada Umar]
Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab “Shahihnya” (2/155-156/1100)).
Yang diucapkan di akhir witir
Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab “Shahihnya” (2/155-156/1100)).
Yang diucapkan di akhir witir
Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
mengucapkan pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ
سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ،
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءَ عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.
“Ya, Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaanMu dari
kemarahanMu, dan dengan keselamatanMu dari siksaMu. Aku berlindung kepadaMu
dari ancamanMu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepadaMu,
Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diriMu sendiri.” [HR.
Empat peenyusun kitab Sunan dan Imam Ahmad. Lihat Shahih At-Tirmidzi 3/180 dan
Shahih Ibnu Majah 1/194 serta kitab Irwa’ul Ghalil 2/175. [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, sanadnya
menurut pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211. Syaikh Al-Albani dalam
Irwa’ul Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf pada Umar]
Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :
سُبْحَانَ الْمَلِكِ
الْقُدُّوْسِ[رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ] (يجهر بها ويمد بها صوته
يقول 3 مرات)
Subhaanal malikil qudduusi (rabbul malaaikati warruh) tiga kali, sedang
yang ketiga, beliau membacanya dengan suara keras dan panjang. [HR. An-Nasai
3/244, Ad-Daruquthni dan beberapa imam hadis yang lain. Sedang kalimat antara
dua tanda kurung adalah tambahan menurut riwayatnya 2/31. Sanadnya shahih,
lihat Zadul Ma’ad yang ditahqiq oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Abdul Qadir
Al-Arnauth 1/337.
Dua rakaat setelah witir
Dua rakaat setelah witir
Dibolehkan shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari perbuatan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain lihat “Shalat
Tarwih”hala:108-109), bahkan beliau memerintahkan umatnya dengan sabdanya :
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا “Jadikanlah witir akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )
Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling menguatkan)
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا “Jadikanlah witir akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )
Dan disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling menguatkan)
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Bagaimana Sholat Tarawih
Sesuai Sunnah Rasulullah
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
- Pensyari'atannya
Shalat tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda (yang artinya) : “ Amma ba'du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari 3/220 dan Muslim 761]
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari'at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama'ah disyari'atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya 'illat itu berputar bersama ma'lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa'ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy[1] beliau berkata : "Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama'ah, maka Umar berkata : "Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik". Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama'ah dengan imam Ubay bin Ka'ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam".[Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733]
Footnote:
[1] Dengan tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa
dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir.
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya
2. Jumlah raka'atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha (yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at" [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian witir [Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.]
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar" [Furu' fajar : awalnya, permulaan].
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : "Dua puluh raka'at".
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : "Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar"
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka'at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka'atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah delapan raka'at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha (yang artinya) : “ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka'at" [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka'at kemudian witir [Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.]
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka'at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : "Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka'at". Ia berkata : "Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu' fajar" [Furu' fajar : awalnya, permulaan].
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : "Dua puluh raka'at".
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : "Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka'at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar"
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka'at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). [Tadribur Rawi 1/262]
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :
1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka'at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I'tidal 1/181]
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha' 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.
[Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari
Syubhat ini, maka lihatlah:
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar]
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar]
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H
Langganan:
Postingan (Atom)