Suatu ketika Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, sebagaimana dituturkan oleh Anas
ra, menemukan sebutir kurma di jalanan. Beliau kemudian bersabda,
“Sesungguhnya kalau aku tidak khawatir kurma ini adalah bagian dari
kurma sedekah, aku pasti memakannya.” (HR Mutaffaq ‘alaih).
Meski
dalam bentuk khabar (kalimat berita), hadits di atas sesungguhnya
mengandung perintah agar kita menjauhi dan meninggalkan perkara-perkara
syubhat (samar, yakni yang belum jelas status hukumnya bagi seseorang,
pen.).
Dalam riwayat lain Baginda Rasululullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam pun bersabda,
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang haram pun
jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar) yang tidak
diketahui oleh kebanyakan manusia. Karena itu, siapa saja yang takut
terjatuh pada perkara syubhat berarti dia telah membersihkan agama dan
kehormatannya. Siapa saja yang melakukan perkara-perkara syubhat berarti
dia menjatuhkan diri pada keharaman. Dia seperti seorang penggembala
yang menggembalakan hewannya di sekitar hima (wilayah larangan), lalu
dia tiba-tiba (tanpa disadari, pen.) memasukinya.” (HR Mutaffaq ‘alaih).
Hadits di atas setidaknya meneguhkan dua hal: Pertama: status hukum
halal dan haram sesungguhnya telah sangat jelas ditunjukkan oleh
nash-nash syariah bagi siapapun yang mau memahaminya (Lihat: Muhammad
‘Alan, Dalil al-Falihin, III/23-24). Kedua: Meski juga dalam bentuk
khabar (kalimat berita), hadits ini pun mengandung perintah kepada kita
untuk menjauhi dan meninggalkan perkara-perkara syubhat. Bahkan dalam
hadits ini terdapat pernyataan tegas, bahwa siapa saja yang mendekati
apalagi sampai terjatuh pada perkara-perkara syubhat, sama saja dengan
mendekati atau menjatuhkan diri pada perkara-perkara haram.
Hadits ini amat dipahami dan tentu diamalkan oleh generasi sahabat dan
salafush-shalih. Banyat riwayat atau kisah bagaimana mereka bersikap
wara’ (menahan diri) bukan saja dari perkara-perkara yang haram, tetapi
juga perkara-perkara yang syubhat. Abu Bakar ra, misalnya, adalah
seorang sahabat yang amat hati-hati dalam hal makanan. Namun,
sebagaimana penuturan Aisyah ra, suatu ketika ia pernah memakan suatu
makanan tanpa terlebih dulu bertanya dari mana asal makanan tersebut.
Saat ia diberitahu bahwa makanan itu berasal dari pemberian seorang
dukun, ia segera memasukkan jari-jemari tangannya ke dalam
mulut/tenggorokkannya. Ia segera memuntahkan kembali makanan tersebut
(HR al-Bukhari).
Hal yang sama—sikap wara’ dan kehati-hatian
dari perkara-perkara yang syubhat—juga ditunjukkan oleh Umar bin
al-Khaththab ra. Ia pernah memuntahkan kembali air susu yang telanjur
diminumnya setelah tahu air susu itu diduga berasal dari unta sedekah.
Bahkan ada riwayat, saat Umar bin al-Khaththab ra menjadi khalifah, ia
pernah mendapatkan hadiah minyak wangi kesturi dari Bahrain. Ia segera
meminta di antara sahabat yang bersedia, untuk menakar sekaligus
membagi-bagikan minyak wangi kesturi itu kepada kaum Muslim. Saat itu,
istrinya, Atikah ra, yang pertama kali menawarkan diri. Namun, beliau
sama sekali mengabaikannya. Sampai tiga kali istrinya menawarkan diri,
ia tetap mengabaikan istrinya. Ia kemudian, berkata, “Aku tidak suka
kamu meletakkan tanganmu di atas timbangan, lalu kamu menyapu-nyapukan
tanganmu yang berbau kesturi itu ke badanmu, karena dengan demikian
berarti aku mendapatkan lebih dari hakku yang halal.” (Al-Kandahlawi,
Fadha’il A’mal, hlm. 590).
Demikianlah sikap wara’
(kehati-hatian) Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, Abu Bakar ra, Umar bin
al-Khaththab ra dan banyak sahabat yang lain. Bahkan banyak di antara
mereka bukan saja bersikap wara’ terhadap perkara-perkara syubhat,
tetapi juga terhadap perkara-perkara mubah (halal) yang tidak mengandung
manfaat. Ini pun sebagai bentuk pengamalan mereka terhadap sabda
Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, “Di antara baiknya keislaman seorang Muslim
adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR Malik, at-Tirmidzi,
Ibn Majah, Ahmad).
Bagaimana dengan generasi Muslim hari ini?
Tampaknya, generasi Muslim hari ini sudah sangat jauh berbeda dengan
generasi Muslim awal. Saat ini, jangankan perkara-perkara syubhat,
perkara-perkara yang nyata-nyata haram pun telah banyak dilanggar.
Jangankan dosa-dosa kecil, dosa-dosa besar pun seolah ringan dilakukan.
Tak terhitung lagi kasus korupsi, zina, pelacuran, pemerkosaan, riba,
pembunuhan, perampokan, penculikan, penipuan dan berbagai kejahatan lain
dilakukan. Padahal banyak pelakunya mengaku Muslim. Yang lebih parah
adalah mereka yang bernani menghalalkan apa yang Allah haramkan atau
mengharamkam apa yang Allah halalkan. Hal demikian hanyalah konsekuensi
belaka dari sistem demokrasi—yang memberikan kewenangan membuat hukum
kepada manusia—yang diterapkan di negeri-negeri Muslim, termasuk di
negeri ini. Wal ‘iyadzu bilLah.
Wa ma tawfiqi illa bilLah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar