Sabtu, 21 Juli 2012

tinggalkan perkara2 shubhat

Suatu ketika Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, sebagaimana dituturkan oleh Anas ra, menemukan sebutir kurma di jalanan. Beliau kemudian bersabda, “Sesungguhnya kalau aku tidak khawatir kurma ini adalah bagian dari kurma sedekah, aku pasti memakannya.” (HR Mutaffaq ‘alaih).

Meski dalam bentuk khabar (kalimat berita), hadits di atas sesungguhnya mengandung perintah agar kita menjauhi dan meninggalkan perkara-perkara syubhat (samar, yakni yang belum jelas status hukumnya bagi seseorang, pen.).
Dalam riwayat lain Baginda Rasululullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam pun bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang haram pun jelas. Di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Karena itu, siapa saja yang takut terjatuh pada perkara syubhat berarti dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Siapa saja yang melakukan perkara-perkara syubhat berarti dia menjatuhkan diri pada keharaman. Dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan hewannya di sekitar hima (wilayah larangan), lalu dia tiba-tiba (tanpa disadari, pen.) memasukinya.” (HR Mutaffaq ‘alaih).

Hadits di atas setidaknya meneguhkan dua hal: Pertama: status hukum halal dan haram sesungguhnya telah sangat jelas ditunjukkan oleh nash-nash syariah bagi siapapun yang mau memahaminya (Lihat: Muhammad ‘Alan, Dalil al-Falihin, III/23-24). Kedua: Meski juga dalam bentuk khabar (kalimat berita), hadits ini pun mengandung perintah kepada kita untuk menjauhi dan meninggalkan perkara-perkara syubhat. Bahkan dalam hadits ini terdapat pernyataan tegas, bahwa siapa saja yang mendekati apalagi sampai terjatuh pada perkara-perkara syubhat, sama saja dengan mendekati atau menjatuhkan diri pada perkara-perkara haram.

Hadits ini amat dipahami dan tentu diamalkan oleh generasi sahabat dan salafush-shalih. Banyat riwayat atau kisah bagaimana mereka bersikap wara’ (menahan diri) bukan saja dari perkara-perkara yang haram, tetapi juga perkara-perkara yang syubhat. Abu Bakar ra, misalnya, adalah seorang sahabat yang amat hati-hati dalam hal makanan. Namun, sebagaimana penuturan Aisyah ra, suatu ketika ia pernah memakan suatu makanan tanpa terlebih dulu bertanya dari mana asal makanan tersebut. Saat ia diberitahu bahwa makanan itu berasal dari pemberian seorang dukun, ia segera memasukkan jari-jemari tangannya ke dalam mulut/tenggorokkannya. Ia segera memuntahkan kembali makanan tersebut (HR al-Bukhari).

Hal yang sama—sikap wara’ dan kehati-hatian dari perkara-perkara yang syubhat—juga ditunjukkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Ia  pernah memuntahkan kembali air susu yang telanjur diminumnya  setelah tahu air susu itu diduga berasal dari unta sedekah. Bahkan ada riwayat, saat Umar bin al-Khaththab ra menjadi khalifah, ia pernah mendapatkan hadiah minyak wangi kesturi dari Bahrain. Ia segera meminta di antara sahabat yang bersedia, untuk menakar sekaligus membagi-bagikan minyak wangi kesturi itu kepada kaum Muslim. Saat itu, istrinya, Atikah ra, yang pertama kali menawarkan diri. Namun, beliau sama sekali mengabaikannya. Sampai tiga kali istrinya menawarkan diri, ia tetap mengabaikan istrinya. Ia kemudian, berkata, “Aku tidak suka kamu meletakkan tanganmu di atas timbangan, lalu kamu menyapu-nyapukan tanganmu yang berbau kesturi itu ke badanmu, karena dengan demikian berarti aku mendapatkan lebih dari hakku yang halal.” (Al-Kandahlawi, Fadha’il A’mal, hlm. 590).

Demikianlah sikap wara’ (kehati-hatian) Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, Abu Bakar ra, Umar bin al-Khaththab ra dan banyak sahabat yang lain. Bahkan banyak di antara mereka bukan saja bersikap wara’ terhadap perkara-perkara syubhat, tetapi juga terhadap perkara-perkara mubah (halal) yang tidak mengandung manfaat. Ini pun sebagai bentuk pengamalan mereka terhadap sabda Baginda Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, “Di antara baiknya keislaman seorang Muslim adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR Malik, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad).

Bagaimana dengan generasi Muslim hari ini? Tampaknya, generasi Muslim hari ini sudah sangat jauh berbeda dengan generasi Muslim awal. Saat ini, jangankan perkara-perkara syubhat, perkara-perkara yang nyata-nyata haram pun telah banyak dilanggar. Jangankan dosa-dosa kecil, dosa-dosa besar pun seolah ringan dilakukan. Tak terhitung lagi kasus korupsi, zina, pelacuran, pemerkosaan, riba, pembunuhan, perampokan, penculikan, penipuan dan berbagai kejahatan lain dilakukan. Padahal banyak pelakunya mengaku Muslim. Yang lebih parah adalah mereka yang bernani menghalalkan apa yang Allah haramkan atau mengharamkam apa yang Allah halalkan. Hal demikian hanyalah konsekuensi belaka dari sistem demokrasi—yang memberikan kewenangan membuat hukum kepada manusia—yang diterapkan di negeri-negeri Muslim, termasuk di negeri ini. Wal ‘iyadzu bilLah.
Wa ma tawfiqi illa bilLah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar