Perempuan dalam industri kapitalis makin telanjang. Tak afdhal rasanya
tanpa memasang tubuh molek mereka, baik dalam iklan, musik, sinetron
maupun film. Perempuan dalam ideologi kapitalis memang begitu
direndahkan. Hanya dinilai dari kemolekan tubuhnya, dieksploitasi setiap
inchi tubuhnya demi rupiah. Makin seksi, makin berani buka-bukaan,
makin menggiurkan bayarannya.
Berjejalanlah kaum perempuan untuk
antre dieksploitasi. Hal ini mengundang kesimpulan, lenyapnya harga diri
mereka. Sayangnya, sebagian juga Muslimah. Ini terjadi karena rendahnya
kesadaran kaum perempuan akan harkat dan martabat dirinya. Mereka sudah
termakan racun ideologi kapitalis yang mendefinisikan perempuan ideal
sebagai: perempuan mandiri, bebas berekspresi dan menjunjung tinggi hak
asasi.
Perempuan seperti ini memahami kebahagiaan dari materi.
Mereka memandang kecantikan dan kemolekan tubuhnya sebagai aset berharga
yang harus dimanfaatkan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia.
Tentu
saja, pihak yang merendahkan perempuan, sejatinya memiliki harga diri
lebih rendah. Ya, pengeksploitasi tubuh perempuan adalah manusia hina,
baik laki-laki maupun perempuan. Mereka adalah pihak yang suka
mempermainkan perempuan, menjadikannya barang mainan. Mereka bukanlah
orang yang pantas dihargai, karena tidak menghargai perempuan.
Mereka
lupa bahwa ibu, istri, nenek, adik atau kakak mereka perempuan. Bahkan
di antara mereka juga punya anak perempuan. Relakah jika para perempuan
suci di sekelilingnya itu dieksploitasi? Relakah bila ibu, istri atau
anak gadis mereka sendiri ditelanjangi dan ditonton jutaan mata? Orang
tak waras saja yang menjawab iya.
Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam bersabda yang
artinya: “tidak akan memuliakan perempuan kecuali lelaki yang mulia,
tidak merendahkan perempuan kecuali lelaki yang rendah pula.”
Ironisnya,
para pejuang harkat dan martabat perempuan diam saja menyaksikan proses
eksploitasi besar-besaran terhadap kaumnya. Mereka justru berteriak
nyaring jika perempuan diamankan dari keterjerumusan harga dirinya.
Ketika
ada upaya umat Muslim untuk melindungi kaum perempuan (Muslimah) dengan
pakaian takwa, para aktivis yang mengklaim memperjuangkan hak-hak
perempuan itu langsung berteriak: jilbab itu tidak trendy, pengekang
aktivitas, simbol budaya Arab, bukan syariat Islam, dan menghambat
kebebasan berekspresi. Dihambatlah berbagai regulasi yang berbau Islam,
seperti perda yang mewajibkan perempuan menutup aurat dan memberlakukan
jam malam untuk perempuan, beberapa waktu lalu.
Sebaliknya,
mereka membela model porno, pelaku adegan mesum, dan bahkan pezina seks
komersial sebagai profesi. Mereka mencak-mencak kalau
perempuan-perempuan itu diusik dari kebebasannya berekspresi.
Demikian
pula ketika ada upaya umat Muslim untuk mengembalikan aktivitas
perempuan ke rumah, penggiat kesetaraan gender langsung gerah. Mereka
segera mempropagandakan kemandirian ekonomi dan pemberdayaan perempuan.
Perempuan dilepaskan dari ketergantungan pernafkahannya pada wali atau
suami.
Akibatnya, perempuan didorong menghidupi dirinya sendiri
dengan berkeliaran di ranah publik. Di sana tubuhnya menjadi terkaman
mata para lelaki hidung belang. Pelecehan, perkosaan hingga perzinaan
jadi bagian cerita sehari-hari.
Padahal, dengan mendudukkan
kembali fungsi dan peran perempuan di rumah, eksploitasi atas tubuh
perempuan bisa dihentikan. Jika perempuan memahami kodratnya sebagai
wanita baik-baik dengan lebih dominan beraktivitas di rumah, insya Allah
tidak ada kesempatan untuk berpose bugil, beradegan mesum, atau
berlenggak-lenggok tanpa busana. Tidak akan terjadi buka-bukaan aurat
yang menggoda mata nafsu laki-laki yang memang kodratnya harus berkiprah
di ranah publik sebagai pencari nafkah.
Lagipula, sejatinya
kebahagiaan perempuan adalah di rumah. Ya, setinggi apapun perempuan
'terbang' di ruang publik, pasti 'hinggap' juga ke sarang, yakni
rumahnya. Rumah adalah istana terindah bagi kaum perempuan, dengan
malaikat-malaikat kecil berupa putra-putrinya yang selalu dirindu.
Ya,
perempuan rumahan adalah perempuan mulia. Dia menjaga harga diri, punya
rasa malu tinggi, menjaga nama baik diri maupun keluarga. Selayaknya
perempuan menjadikan rumah sebagai sumber aktivitasnya.
Memang,
tidak dilarang beraktivitas di luar rumah bagi kaum perempuan. Tapi,
harus memenuhi syarat-syarat sesuai syariat Islam. Seperti menutup
aurat, tidak membahayakan diri, tidak khalwat dan ikhtilat, tidak
mengandalkan kemolekan tubuh/tabaruj, bermuamalah yang halal, ditemani
mahram bila bepergian lebih dari sehari semalam, dll.
Demikian
seharusnya, di manapun berada, Muslimah sejati selalu menjaga harga
diri. Ini adalah kewajiban yang tak boleh diabaikan. Haram
mengeksploitasi tubuh untuk motif apapun, apalagi sekadar materi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar