Rabu, 25 Juli 2012

kewajiban didahulukan daripada keutamaan

Ada beberapa perkara yang sisi lahiriahnya adalah keutamaan, sedangkan sisi 'batiniah'-nya adalah kewajiban:
1. membaca Alquran adalah keutamaan, mengamalkan isinya adalah kewajiban;
2. bergaul dengan orang-orang shalih adalah keutamaan, sementara meneladani keshalihan mereka adalah kewajiban;
3. ziarah kubur adalah keutamaan, sementara mempersiapkan bekal (dengan memperbanyak amal-amal shalih) sebelum masuk ke alam kubur adalah kewajiban.
Demikian menurut Sayidina Utsman bin Affan ra dalam suatu riwayat, sebagaimana dikutip Imam an-Nawawi dalam sebuah kitabnya.
Melalui pesan Utsman di atas setidaknya kita memahami: Pertama, penting membaca Alquran, tetapi lebih penting lagi mengamalkan isinya; penting untuk selalu bergaul dengan orang-orang shalih, namun lebih penting lagi mene-ladani keshalihan mereka; penting untuk melakukan ziarah kubur, tetapi lebih penting lagi adalah mempersiapkan amal shalih untuk bekal di alam kubur.
Alasannya jelas. Bagaimanapun kewajiban harus lebih didahulukan dari-pada keutamaan. Sebab, tentu tak ada keutamaan jika yang wajib ditinggalkan, meski yang sunnah dikerjakan. Bagi seorang Muslim, membaca Alquran, misal-nya, adalah sunnah dan keutamaan. Namun, jika isi Alquran yang ia baca tak diamalkan, tentu membacanya tidak lagi menjadi keutamaan bagi dirinya; sekadar menjadi 'hiasan', tetapi tak mendatangkan manfaat atau keberkahan. Sebab, bukan-kah Alquran Allah turunkan agar dijadikan pedoman, bukan sekadar dijadikan bacaan? Allah Subahanahu Wa Ta'ala bahkan telah mencela orang-orang yang mengabaikan isi Alquran
"Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur'an itu sesuatu yang tidak diacuhkan."
(Q.S. al-Furqan 25:30)
Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufassir dikategorikan sebagai tindakan mengabaikan Alquran. Di antaranya adalah tidak mengamalkan serta mematuhi perintah dan larangannya (Ibn Katsir, I/1335); tidak mau berhukum dengannya (Wahbah Zuhaili, IXX/61).
Saat ini banyak Muslim yang sering mengutamakan hal-hal yang sunnah, seraya mengabaikan perkara-perkara yang wajib. Mereka lebih menomorsatukan hal-hal yang sesungguhnya hanya merupakan keutamaan, sementara mereka menomor-duakan hal-hal yang sesungguhnya meru-pakan kewajiban.
Mungkin kita pernah atau malah sering menyaksikan pemandangan beri-kut: seseorang rajin menghadiri majelis-majelis dzikir, tetapi dalam bekerja kepada orang lain ia sering mangkir; seseorang banyak melafalkan kalimat-kalimat thayyibah, namun banyak pula ia melaku-kan ghibah; seseorang rajin menunaikan shalat-shalat sunnah, tetapi rajin pula melakukan perkara-perkara bid'ah; sese-orang biasa berpuasa senin-kamis, tetapi biasa pula bersikap pragmatis (tak peduli halal-haram); seseorang rajin bersedekah, namun tak peduli nafkahnya ia peroleh dari jalan yang salah; seseorang berkali-kali melakukan ibadah umrah, tetapi tak sekalipun ia mau saat diajak berdakwah; seseorang rajin membaca Alquran, namun perintah dan larangan yang ada di dalamnya sering ia abaikan; seseorang mengklaim cinta dan banyak bershalawat kepada Nabi Shalallaahu 'Alayhi Wasallam namun terhadap nasib Islam yang beliau bawa dan masa depan umatnya ia tak peduli; seseorang biasa  menyantuni fakir-miskin dan kaum dhuafa, namun biasa pula ia makan dari uang hasil riba; seseorang bergelar haji bahkan ke Makkah lebih dari sekali tetapi terhadap tetangganya yang miskin sering tak peduli; seseorang selalu berusaha menjaga citra dan kehormatan diri, namun auratnya ia pamerkan ke sana-kemari dan perilakunya tak terpuji; seseorang menjadi donatur kegiatan keagamaan/sosial di sana-sini, namun hartanya ternyata hasil korupsi. Demikian seterusnya hingga kita sering menyaksikan hal-hal yang saling berkontradiksi.
Padahal Allah Subahanahu Wa Ta'ala pun jelas telah mengutamakan kewajiban daripada perkara-perkara yang sunnah. Dalam sebuah hadits qudsi dinyatakan bahwa Allah Subahanahu Wa Ta'ala telah berfirman, "Tidak ada bentuk taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai daripada (mengerjakan) apa yang Aku wajibkan kepadanya. Seorang hamba terus-menerus bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintai-nya…” (HR al-Bukhari).
Melalui hadits qudsi ini, jelas Allah Subahanahu Wa Ta'ala menghendaki setiap Mukmin ber-taqarrub kepada-Nya: pertama-tama dengan melaksanakan semua kewajiban, baik berupa fardlu 'ain maupun fardlu kifayah; kemudian melengkapinya de-ngan menunaikan amalan-amalan sun-nah. Dengan itu, keutamaan  bisa kita raih, dan kewajiban pun bisa kita tunaikan. Dengan itu pula, akan sempurnalah taqarrub kita kepada-Nya. Wa mâ tawfîqî illâ billâh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar