Selasa, 20 Maret 2012

Etika terhadap Suami-Istri

Orang Muslim meyakini adanya etika timbal balik antara suami dan istri, dan etika tersebut adalah hak atas pasangannya yang lain berdasarkan dalil-dalil berikut, 
Firman Allah Ta ‘ala, "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari isterinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana." (Al-Baqarah: 228).
Ayat yang mulia di atas menegaskan, bahwa setiap suami-istri mempunyai hak atas pasangannya, dan suami (laki-laki) diberi tambahan derajat atas wanita (istri) karena alasan-alasan khusus.
Sabda Rasulullah saw. di Haji Wada', "Ketahuilah, bahwa kalian mempunyai hak-hak atas wanita-wanita (istri-istri) kalian, dan sesungguhnya wanita-wanita (istri-istri) kalian mempunyai hak-hak atas kalian." (Diriwayatkan para pemilik Sunan dan At-Tirmidzi men-shahih-kan hadits ini).
Hak-hak ini, sebagian sama di antara suami-istri dan sebagiannya tidak sama. Hak-hak yang sama di antara suarni-istri adalah sebagian berikut:
1.   Amanah
Masing-masing suami-istri harus bersikap amanah terhadap pasangannya, dan tidak mengkhianatinya sedikit atau banyak, karena suami istri adalah laksana dua mitra di mana pada keduanya harus ada sifat amanah, saling menasihati, jujur, dan ikhlas dalam semua urusan pribadi keduanya, dan urusan umum keduanya.
2.   Cinta kasih
Artinya, masing-masing suami-istri harus memberikan cinta kasih yang tulus kepada pasangannya sepanjang hidupnya karena firman Allah Ta‘ala,
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (Ar-Ruum: 21).
Dan karena sabda Rasulullah saw., "Barangsiapa tidak menyayangi ia tidak akan disayangi." (HR Ath-Thabrani dengan sanad yang baik).
3.   Saling percaya
Artinya masing-masing suami-istri harus mempercayai pasangannya, dan tidak boleh meragukan kejujurannya, nasihatnya, dan keikhlasannya, karena firman Allah Ta‘ala, "Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara." (Al Hujurat: 10).
Dan karena sabda Rasulullah saw., "Salah seorang dan kalian tidak beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (HR Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Ikatan suami-istri itu memperkuat, dan mengokohkan ikatan (ukhuwwah) iman.
Dengan cara seperti itu, masing-masing suami-istri merasa, bahwa dirinya adalah pribadi pasangannya. Oleh karena itu, bagaimana ia tidak mempercayai dirinya sendiri, dan tidak menasihatinya? Atau bagaimana seseorang itu kok menipu dirinya sendiri, dan memperdayainya?
4.  Etika umum, seperti lemah lembut dalam pergaulan sehari-hari, wajah yang berseri-seri, ucapan yang baik, penghargaan, dan penghormatan. Itulah pergaulan baik yang diperintahkan Allah Ta‘ala dalam firman-Nya, "Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik." (An-Nisa': 19).
Itulah perlakuan baik yang diperintahkan Rasulullah saw. dalam sabdanya, "Perlakukan wanita dengan baik." (HR Muslim).
Inilah sebagian hak-hak bersama antar suami-istri, dan masing-masing dan keduanya harus memberikan hak-hak tersebut kepada pasangannya untuk merealisir perjanjian kuat yang diisyaratkan firman Allah Ta‘ala, "Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kalian penjanjian yang kuat." (An-Nisa': 21).
Dan karena taat kepada Allah Ta‘ala yang berfirman, "Dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian, Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kalian kerjakan." (A1-Baqarah: 237).
Adapun hak-hak khusus, dan etika-etika yang harus dikerjakan masing-masing suami-istri terhadap pasangannya adalah sebagai berikut:
Hak-hak Istri atas Suami
Terhadap istrinya, seorang suami harus menjalankan etika-etika berikut ini:
1.  Memperlakukannya dengan baik karena dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta‘ala, "Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik." (An-Nisa': 19).
Ia memberi istrinya makan jika ia makan, memberinya pakaian jika ia berpakaian, dan mendidiknya jika ia khawatir istrinya membangkang seperti diperintahkan Allah Ta‘ala kepadanya dengan menasihatinya tanpa mencaci-maki atau menjelek-jelekkannya. Jika istri tidak taat kepadanya, ia pisah ranjang dengannya. Jika istri tetap tidak taat, ia berhak memukul dengan pukulan yang tidak melukainya, tidak mengucurkan darah, tidak meninggalkan luka, dan membuat salah satu organ tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya, karena firman Allah Ta‘ala,
"Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya (pembangkangannya), maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka." (An-Nisa': 34).
Sabda Rasulullah saw. kepada orang yang bertanya kepada beliau tentang hak istri atas dirinya, "Hendaknya engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya, dan tidak mendiamkannya kecuali di dalam rumah." (HR Abu Daud dengan sanad yang baik).
Sabda Rasulullah saw., "Ketahuilah bahwa hak-hak wanita-wanita atas kalian ialah hendaknya kalian berbuat baik kepada mereka dengan memberi mereka makan dan pakaian."
Sabda Rasulullah saw., "Laki-laki Mukmin tidak boleh membenci wanita Mukminah. Jika ia membenci sesuatu pada pisiknya, ia menyenangi lainnya." (HR Muslim dan Ahmad).
2.  Mengajarkan persoalan-persoalan yang urgen dalam agama kepada istri jika belum mengetahuinya, atau mengizinkannya menghadiri forum-forum ilmiah untuk belajar di dalamnya. Sebab, kebutuhan untuk memperbaiki kualitas agama, dan menyucikan jiwanya itu tidak lebih sedikit dan kebutuhannya terhadap makanan, dan minuman yang wajib diberikan kepadanya. Itu semua berdasarkan dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta‘ala, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).
Wanita termasuk bagian dan keluarga laki-laki, dan penjagaan dirinya dan api neraka ialah dengan iman, dan amal shalih. Amal shalih harus berdasarkan ilmu, dan pengetahuan sehingga ia bisa mengerjakannya seperti yang diperintahkan syariat.
Sabda Rasulullah saw., "Ketahuilah, hendaklah kalian memperlakukan wanita-wanita dengan baik, karena mereka adalah ibarat tawanan-tawanan pada kalian." (Muttafaq Alaih).
Di antara perlakuan yang baik terhadap istri ialah mengajarkan sesuatu yang bisa memperbaiki kualitas agamanya, menjamin bisa istiqamah (konsisten) dan urusannya menjadi baik.
3.  Mewajibkan istri melaksanakan ajaran-ajaran Islam beserta etika-etikanya, melarangnya buka aurat dan berhubungan bebas (ikhtilath) dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, memberikan perlindungan yang memadai kepadanya dengan tidak mengizinkannya merusak akhlak atau agamanya, dan tidak membuka kesempatan baginya untuk menjadi wanita fasik terhadap perintah Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya, atau berbuat dosa, sebab ia adalah penanggung jawab tentang istrinya dan diperintahkan menjaganya, dan mengayominya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala, "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita." (An-Nisa' 34).
Dan berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Seorang suami adalah pemimpin di rumahnya, dan ia akan diminta pertanggungan jawab tentang kepemimpinannya." (Muttafaq Alaih).
4.  Berlaku adil terhadap istrinya dan terhadap hstri-istrinya yang lain, jika ia mempunyai istri lebih dan satu. Ia berbuat adil terhadap mereka dalam makanan, minuman, pakaian, rumah, dan tidur di ranjang. Ia tidak boleh bersikap curang dalam hal-hal tersebut, atau bertindak zhalim, karena ini diharamkan Allah Ta‘ala dalam firman-Nya, "Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah) seorang saja, atau budak-budak wanita yang kalian miliki." (An-Nisa': 3).
Rasulullah saw. mewasiatkan perlakuan yang baik terhadap istri-istri dalam sabdanya, "Orang terbaik dan kalian ialah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku orang terbaik dan kalian terhadap keluarganya." (HR Ath-Thabrani dengan sanad yang baik).
5.  Tidak membuka rahasia istrinya dan tidak membeberkan aibnya, sebab ia orang yang diberi kepercayaan terhadapnya, dituntut menjaga, dan melindunginya.
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah ialah suami yang menggauli istrinya, dan istrinya bergaul dengannya, kemudian ia membeberkan rahasia hubungan suami-istri tersebut." (Diriwayatkan Muslim).
Hak-hak Suami atas Istri
Terhadap suaminya, seorang istri harus menjalankan etika-etika berikut ini:
1.  Taat kepadanya selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Th ‘ala, karena dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta‘ala, "Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka." (An-Nisa': 34).
Sabda Rasulullah saw., "Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian istrinya tidak datang kepadanya, dan suaminya pun marah kepadanya pada malam itu, maka istrinya dilaknat para malaikat hingga pagi harinya." (Muttafaq Alaih).
"Seandainya aku suruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku suruh seorang istri sujud kepada suaminya." (HR Abu Daud dan Al-Hakim. At-Tirmidzi meng-shahih-kan hadits mi).
2.  Menjaga kehormatan suaminya, kemuliaanya, hartanya, anak-anaknya, dan urusan rumah tangga lainnya, karena dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta'ala, "Maka wanita-wanita yang shalihah ialah wanita-wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)." (An-Nisa': 34).
Sabda Rasulullah saw., "Seoranq istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan anaknya." (Muttafaq Alaih).
Sabda Rasulullah saw., "Maka hak kalian atas istri-istri kalian ialah hendaknya orang-orang yang kalian benci tidak boleh menginjak ranjang-ranjang kalian, dan mereka tidak boleh memberi izin masuk ke rumah kepada orang orang yang tidak kalian sukai." (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
3.  Tetap berada di rumah suami, dalam arti, tidak keluar kecuali atas izin dan keridhaannya, menahan pandangan dan merendahkan suaranya, menjaga tangannya dari kejahatan, dan menjaga mulutnya dari perkataan kotor yang bisa melukai kedua orang tua suaminya, atau sanak keluarganya, karena dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta‘ala, "Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu." (Al-Ahzab: 33).
"Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya." (Al-Ahzab: 32).
"Allah tidak menyukai ucapan buruk." (An-Nisa': 148).
"Katakanlah kepada wanita-wanita beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya'." (An-Nuur: 31).
Sabda Rasulullah saw., "Wanita (istri) terbaik ialah jika engkau melihat kepadanya, ia menyenangkanmu. Jika engkau menyuruhnya, ia taat kepadamu. Jika engkau pergi darinya, ia menjagamu dengan menjaga dirinya dan menjaga hartamu." (HR Muslim dan Ahmad).
Sabda Rasulullah saw., "Kalian jangan melarang wanita-wanita hamba-hamba Allah untuk pergi ke masjid-masjid Allah. Jika istri salah seorang dari kalian meminta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid, engkau jangan melarangnya." (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan At Tirmidzi).
Sabda Rasulullah saw., "Izinkan wanita-wanita pergi ke masjid pada malam hari."
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 138-145.

Mengembalikan Peran Perempuan



Allah Swt. telah memberi kedudukan mulia bagi perempuan dengan menetapkan mereka menjadi seorang ibu dan pengatur rumah tangga. Itulah posisi terbaik bagi wanita, karena Allah Pencipta segenap makhluk sangat mengetahui apa yang terbaik bagi mereka.

Karena kewajiban utamanya menjadi ibu dan pengatur rumah tangga, maka Islam memberi hak bagi perempuan untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Mereka tinggal di dalam rumah, tetapi mendapat pemenuhan kebutuhan hidupnya secara makruf (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 223).

Dalam sorotan Syariah, Islam sangat memperhatikan peran dan tugas ibu karena ibulah kunci lahirnya generasi tangguh yang akan melanjutkan peradaban yang lebih baik. Menjadi ibu berkualitas haruslah memiliki kecerdasan spiritual, kecerdasan ruhiyah yang menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah yang wajib menjalankan seluruh peran keibuan dalam rumah tangga dan meyakini semua itu akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah Swt.

Hal ini akan mendorong para ibu untuk melaksanakan tugas dengan penuh keikhlasan semata mencari ridha-Nya. Ibu yang berkualitas juga harus memiliki kepribadian Islam. Maksudnya setiap tingkah laku dan cara berpikirnya selalu diarahkan oleh aturan-aturan Islam yang dilandasi oleh Iman.

Ketika peran ibu dan pengurusan rumah tangga diabaikan, maka akan terjadi kerusakan yang akan menimpa anak-anak, suami dan tentu saja ibu itu sendiri. Anak-anak tidak terawat dengan baik, keadaan ini akan memunculkan generasi yang lemah.

Rumah tangga pun tidak terurus, memicu percekcokan suami-istri. Rapuhnya institusi keluarga muslim yang akan menuju pada ambang kehancuran seperti yang dikehendaki demokrasi kapitalisme.

Program pemberdayaan perempuan yang diperjuangkan selama ini adalah alat yang telah merusak tatanan keluarga dan menambah permasalahan negeri ini. Perubahan lebih baik hanya bisa diwujudkan dengan Syariah dan Khilafah bukan dengan tetap kukuh dengan demokrasi. Wallahu a'lam. (*)

Wanita Jelita

Wanita jelita itu aurat dijaga, Pergaulan dipagari, Sifat malu pengikat diri, Seindah hiasan di dunia ini.
Keayuan wanita Jelita itu, tidak terletak pada kecantikan wajahnya, Kemanisan wanita Jelita, tidak terletak pada kemanjaannya,
Daya penarik wanita Jelita itu, Bukan pada kemanisan bicaranya yang mengoncang iman laki laki,Dan bukan pula terletak pada kebijaksanaannya bermain lidah, memujuk rayu, Bukan dan tidak sama sekali.
Kepatuhan wanita Jelita, Bukan pada barang kemas atau perihal orang lain, Tapi pada perjuangannya meningkatkan martabat Agama.
Nafsu mengatakan wanita cantik dengan paras rupa yang indah bak permata yang menyilaukan alam,
Akal mengatakan wanita cantik atas kemajuan dan ketebalannya dalam ilmu serta pandai dari segala aspek
Hati menyatakan kecantikan wanita hanya pada akhlaknya, Itupun seandainya hati itu bersih untuk menilai.
Wahai wanita jangan bangga dengan kecantikan luar, Karna satu hari nanti ia akan lapuk di telan jaman,Tetapi jaga dan peliharalah kecantikan didalam , Agar diri bersih dan sentiasa mendapat Rahmat Ilahi.

Hakikat Wanita Shalihah

WANITA SHALIHAH… Jika kita mendengar dua kata ini, yang terbayang di benak kita adalah seorang wanita berkerudung, menggunakan jubah panjang sampai ujung kaki, bahkan yang menutup mukanya hingga yang terlihat hanyalah dua pasang mata. Apakah itu yang dikatakan  wanita shalihah?? Seperti apakah kriteria wanita shalihah menurut agama Islam?

Jika kita menelaah kembali sejarah wanita sebelum Islam, dimana kedudukan wanita sangat tidak berharga, bahkan sebuah keluarga dianggap hina jika melahirkan seorang bayi wanita.  Pada masa itu wanita sama halnya seperti binatang yang menjijikan. Seorang ayah boleh menjual belikan anak perempuannya, mengubur hidup-hidup anaknya dan yang lebih keji lagi para suami rela membagi istrinya dengan teman-temannya. Bisa kita bayangkan jika Islam tidak datang pada masa itu dan kebiasaan itu masih terjadi pada massa sekarang??

Pernyataan di atas sedikit menggambarkan kita bagaimana Islam menjaga, bahkan menaikkan harkat dan martabat wanita. Di dalam al-Qur’an sangat jelas diungkapkan beberapa kriteria wanita shalihah menurut kacamata Islam yang artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri  supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. 30:21)
 
Jika kita pelajari makna ayat di atas, kita akan memahami bahwasanya keberadaan kaum  wanita memiliki pengaruh dan manfaat yang sangat besar terhadap kaum pria. Yang mana diantara mereka terbentuk suatu timbal balik yang saling melengkapi satu sama lain. Maka, sangat tidak benar yang dikatakan bangsa-bangsa Jahily (sebelum datang Islam) bahwa keberadaan kaum wanita merupakan suatu musibah yang akan mendatangkan bencana. Karena secara akal sehat, tidak akan terlahir seorang pria tanpa adanya wanita. Karena setiap bayi yang terlahir ke dunia ini adalah berasal dari rahim yang dimiliki seorang ibu. Namun, bukan berarti dengan jasanya kaum wanita yang melahirkan, lantas ia selalu tergolong wanita shalihah. Melainkan, wanita shalihah yang tergolong dalam kategori Islam adalah wanita yang  mampu memposisikan dirinya menjadi tiga karakter, yaitu: menjadi seorang ibu, istri dan sahabat.

Taat kepada Allah swt.

Taat kepada Allah merupakan hal yang sangat urgen yang harus dimiliki wanita shalihah. Karena  kecantikan hakiki seorang wanita dapat dilihat dari ketaatannya kepada Allah swt. Ketaatan kepada Allah dapat berupa keimanan dan mewujudkan keyakinannya dari segala tingkah lakunya, diantaranya: taat terhadap semua aturan yang Dia tetapkan, segera  menyadari kekhilafannya dengan bertaubat, rajin beribadah, berpuasa  sunah dan senantiasa menelaahh ilmu-ilmu agama agar keimanannya selalu bertambah setiap saat.. Inilah cakupan yang amat menyeluruh dari kepribadian wanita shalihah.

Namun, hukum Allah yang kerap kali dilanggar oleh kaum wanita pada zaman ini adalah dalam hal berbusana. Islam telah mengatur etika seluruh ritual kehidupan manusia dari etka beribadah sampai etika berpakaian. Sebagaiman sabda Rasulullah saw.: ”Kaum wanita yang berpakaian tetapi seperti telanjang, meliuk-liukan badannya dan rambutnya disasak, mereka tidak akan masuk surga, juga tidak akan mencium baunya. Padahal bau surga itu dapat tercium dari jarak amat jauh”. (HR. Muslim).

Taat kepada Suami

 Wanita yang mampu memelihara rahasia dan harta suaminya tergolong sebagai wanita shalihah.  Karena itu Allah mewajibkan kepada suami untuk memperlakukannya dengan baik dan penuh kasih sayang..

Rasulullah saw. bersabda: ”Jika seorang istri itu telah menunaikan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dipersilahkan kepadanya memasuki surga dari pintu mana pun yang ia suka”. (HR. Ibnu Hibban, al-Bazzar, Ahmad dan Thabrani. Dan dibenarkan oleh Albani).

Sebaliknya durhaka kepada suami akan mendatangkan bencana dari Allah. Baik bencana yang disampaikan melalui perantara malaikat maupun manusia. Diantara sikap taat para istri kepada para suami, adalah meminta izin kepada suami jika hendak keluar rumah, tidak  meminta bercerai tanpa alasan yang dibenarkan agama, menjaga sopan santun dan kehormatan saat keluar rumah, tidak mengeraskan suara melebihi suami, tidak membantah suaminya dalam kebenaran, dan tidak menerima tamu yang dibenci suaminya ke dalam rumah, apalagi bermesraan dengan lelaki lain.

Lemah Lembut dan Pemalu.

Malu merupakan sebagian dari iman. Diriwayatkan pada sebuah hadits Arba’in Nawawy : “Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan”. Wanita yang memiliki sifat malu akan selalu mempertimbangkan semua yang akan ia lakukan. Ia senantiasa berfikir dampak dari setiap tingkah lakunya. Hal ini ia lakukan untuk menjaga dan memelihara dirinya dari fitnah dan perbuatan keji. Bahkan sifat sopan dan pemalu ini dijadikan sebagai daya tarik pada bidadari, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an pada penggalan ayat yang artinya:  Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya… (QS. Ar-Rahman :55:56)

Rasulullah saw. Bersabda :”Dunia ini perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah”. (HR Muslim). Kata perhiasan terkait dengan makna keindahan. Wanita shalihah senantiasa menjaga daya tarik dirinya bagi suaminya. Wanita yang senantiasa menjaga keindahan digambarkan dalam al-Qur’an yang artinya: Dan (di dalam surga itu) terdapat bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. (QS. Al-Waqi’ah:22-23)

Sebaik-baik seorang istri adalah yang jika suami memandangnya, ia memberikan kebahagiaan. Jika suami menyuruhnya, ia mentaatinya. Dan jika sang suami pergi, ia menjaga dirinya dan hartanya. Istri shalihah senantiasa menyenangkan hati suaminya dan menjaga suasana cinta dan kasih sayang tetap bersemi dalam keluarga. Sesuai sabda Rasulullah saw.: “Sesungguhnya apabila seorang suami menatap istrinya dan istrinya membalas pandangan (dengan penuh cinta kasih), maka Allah menatap mereka dengan pandangan kasih sayang. Dan jika sang suami membelai tangan istrinya, maka dosa mereka jatuh berguguran di sela-sela jari tangan mereka”.

Wanita shalihah ibarat sekuntum mawar yang datang dari surga, anggun di balik perisai ketegasan, cantik dalam balutan malu, berbinar dalam tunduknya pandangan mata. Ia lembut sekaligus tangguh, ia mempesona meski tak tersentuh, ia serahkan jiwa raga kepada Rabb-nya.

Wanita Shalihah memiliki hati seperti embun yang merunduk tawadhu' di pucuk2 daun. Seperti karang berdiri tegar yang disirami air hujan. Memiliki iman seperti  bintang, terang benderang menerangi kehidupan.

Senin, 19 Maret 2012

Meninjau Ulang Emansipasi

Masalah kewanitaan dalam Islam menjadi tema yang tak habis-habisnya disoroti oleh aktivis perempuan dan kalangan feminis. Dari soal kepemimpinan, “diskriminasi” peran, partisipasi yang “rendah” karena posisinya yang dianggap “subordinat”, hingga poligami. Semuanya bermuara pada sebuah gugatan bahwa wanita harus mempunyai hak yang sama alias sejajar dengan pria. Seolah-olah dalam agama ini terjadi pembedaan (yang membabi buta) antara pria dan wanita.

Adalah sebuah kenyataan, wanita berbeda dengan pria dalam banyak hal. Dari perbedaan kondisi fisik, sisi emosional yang menonjol, sifat-sifat bawaan, dan sebagainya. Makanya syariat pun memayungi perbedaan ini dengan adanya fiqh yang khusus diperuntukkan bagi laki-laki dan fiqh yang dikhususkan bagi perempuan.

Secara fisiologis, misalnya, wanita mengalami haid hingga berkonsekuensi berbeda pada hukum-hukum yang dibebankan atasnya. Sementara dari kejiwaan, pria umumnya lebih mengedepankan akalnya sehingga lebih bijak, sementara wanita cenderung mengedepankan emosinya. Namun dengan emosi yang menonjol itu, wanita patut menjadi ibu yang mana punya ikatan yang kuat dengan anak. Sebaliknya, dengan kelebihannya, laki-laki pantas menjadi pemimpin sekaligus menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya.

Hal-hal di atas bersifat kodrati, bukan label sosial yang dilekatkan (sebagaimana sering didalilkan kaum feminis). Semuanya itu merupakan tatanan terbaik yang diatur Sang Pencipta, Allah l. Kelebihan dan kekurangan masing-masing akan saling melengkapi sehingga pria dan wanita bisa bersenyawa sebagai suami istri. Namun tatanan ini nampaknya hendak dicabik-cabik oleh para penjaja emansipasi yang mengemasnya sebagai “kesetaraan” jender, yang mana hal itu telah diklaim sebagai simbol kemajuan di negara-negara Barat.

Para feminis dan aktivis perempuan itu seolah demikian percaya bahwa kemajuan terletak pada segala hal yang berbau Barat. “Akidah” ini, sekaligus merupakan potret dari sebagian masyarakat Islam sekarang. Di mana busana, kultur, sistem politik (demokrasi) hingga makanan ’serba Barat’ telah demikian kokoh menjajah ‘gaya hidup’ sebagian kaum muslimin.

Demikian juga emansipasi. Propagandanya telah memperkuat citra yang rendah terhadap ibu rumah tangga -yang jamak ditekuni oleh sebagian besar muslimah-, bahwa berkutatnya wanita dalam wilayah domestik dianggap keterbelakangan sebelum bisa menapaki karir.

Falsafah ini kian diperparah dengan paham yang mendewakan kecantikan fisik. Alhasil, ada wanita yang tidak mau menyusui, hanya mau melahirkan lewat jalan operasi, dan sebagainya, (konon) demi semata menjaga “bentuk tubuh”. Sedemikian rusaknya pandangan ini, hingga anak pun dianggap sebagai penghambat kemajuan (karir).

Sejatinya, jika mau jujur, emansipasi tak lebih dari “produk gagal” dari industri peradaban Barat. Hanya karena kemasan alias silau terhadap kemajuan (fisik) Barat kemudian lahirlah pemahaman bahwa kemunduran negara-negara Islam disebabkan tidak mengikuti Barat, seakan menjadi harga mati.

Padahal kalau kita menilik sejarah, bukan teknologi atau tatanan pergaulan ala Barat sekarang yang membuat Islam jaya di masa silam. Apa arti teknologi jika tidak diimbangi keimanan. Yang terjadi, teknologi justru kemudian digunakan untuk membunuh, mengeksploitasi alam, menjajah negara lain apalagi hanya dengan dalih menangkap gembong teroris, memainkan perannya sebagai polisi dunia, serta menjerat negara berkembang dengan hutang plus (intervensi politik).

Negara Barat seakan tutup mata dengan keroposnya sendi-sendi masyarakat mereka karena tingginya angka perceraian, meratanya seks bebas, meningkatnya homoseksualitas (karena dilegalkan), kentalnya praktik rasial (terhadap warga non kulit putih), dan sebagainya.

Makanya jika kita masih saja berkaca dengan Barat, sudah saatnya kita meninjau ulang emansipas

MAAFKANLAH

Apabila orang - orang beriman selamat dari neraka maka mereka ditahan di jembatan antara syurga dan neraka. Mereka saling membalas kedzaliman - kedzaliman di antara mereka di dunia. Hingga mereka dibersihkan dan disucikan maka diizinkan bagi mereka untuk masuk syurga. [ HR. Shahih Bukhari dari Abu Sa'id Al Khudri ].



Dosa - dosa yang dilakukan oleh hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala maka hamba diperintahkan untuk memohon ampun kepada Nya sesegera mungkin, menutupi atau tidak menampakkan atau menceritakan kepada orang lain atas dosa yang dilakukannya serta bertaubat....Hal ini untuk mengharap dan memohon maghfirah Allah atas dosa - dosa yang sudah dilakukannya sehingga dosa - dosa hamba tidak sampai terbawa ketika hamba kembali dan menghadap kepada Nya kemudian dihadapkannya hamba dalam pengadilan Nya....Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. [ QS 3 : 133 ].



Sedangkan dosa - dosa yang dilakukan oleh hamba kepada hamba lainnya dalam bentuk kedzaliman - kedzaliman maka perintah Allah kepada hamba untuk segera saling memaafkan....Bagi yang berbuat kedzaliman kepada yang lain maka segeralah meminta maaf dan bagi yang didzalimi maka segeralah untuk memaafkan....dan memaafkan (kesalahan) orang....[ QS 3 : 134 ].



Atas dasar hadits Abu Sa'id inilah apabila seorang mukmin masih membawa dosa - dosa kepada Allah dan dosa - dosa kepada sesama hamba maka kelak dalam pengadilan Allah maka dosa kepada Allah akan menghantarkan pelakunya di adzab oleh Allah di dalam neraka terlebih dahulu kemudian atas syafaat dan rahmat Nya maka orang mukmin diampuni dosa - dosanya dan terbebas dari adzab neraka.



Selanjutnya orang mukmin yang terbebas dan selamat dari nereka setelah di adzab di dalam neraka atas syafaat dan rahmat Allah digiring menuju ke sebuah jembatan yang letaknya diantara syurga dan neraka....Di tempat inilah kemudian orang - orang mukmin di datangkan untuk saling membalas kedzaliman - kedzaliman yang pernah dilakukan dahulu di dunia dan belum dimaafkan.



Mereka yang pernah didzalimi akan didatangkan kepada yang mendzalimi....kemudian diperlihatkan bahwa orang yang mendzaliminya di adzab oleh malaikat adzab atas izin dan perintah Allah....Malaikat adzab inilah kemudian yang bertanya kepada orang yang didzalimi....Apakah engkau memaafkannya ?....Yang didzalimi selalu menjawab tidak, tidak dan tidak....Malaikat adzab meneruskan menyiksa orang yang mendzalimi dihadapan yang didzalimi dengan pemandangan yang nampak jelas sampai kemudian orang yang didzalimi merasa kasihan dan akhirnya dia memaafkan kedzaliman yang pernah dilakukan orang tersebut kepadanya.



Begitulah yang dimaksud dalam hadits Abu Sa'id Al Khudri terkait dengan lafadzh....Mereka saling membalas kedzaliman - kedzaliman di antara mereka ketika mereka di dunia....Hingga mereka dibersihkan dan disucikan atas segala dosa - dosanya....Dosa - dosa kepada Allah sudah diampuni dan dosa - dosa kepada sesama hamba sudah dimaafkan....Saat itulah seorang hamba siap dan diizinkan untuk memasuki syurga Allah Subhanahu wa Ta'ala.



Semua orang mukmin yang masih mempunyai dosa - dosa kepada sesama manusia akan dikumpulkan di tempat tersebut untuk menyelesaikannya....dan dalam satu riwayat dikatakan bahwa satu kesalahan atau kedzaliman membutuhkan waktu 200 tahun untuk menyelesaikannya sampai dimaafkan....Bayangkan kalau kedzaliman atau kesalahan seorang mukmin itu banyak sekali kepada banyak saudara mukmin lainnya kemudian dia enggan untuk meminta maaf selama hidupnya di dunia....wah lama sekali dia tertahan di tempat tersebut....Dan bagi orang mukmin yang enggan memaafkan kesalahan dan kedzaliman saudara mukminnya maka dia juga tertahan di tempat tersebut sangat lama sekali karena dia sebagai saksi dan hanya melihat saudaranya di siksa dan di adzab....Sayang sekali karena seharusnya dia sudah berada di syurga dan menikmati kenikmatan, kemuliaan dan kebahagiaan syurga bersama Khurin 'Iin....Bidadari bermata jeli....MAAFKANLAH !

Buat apa Pamer dan ingin dipuji

Di dunia saja, orang sangat mudah ketahuan sifatnya bila ingin dipuji, apalagi di akhirat nanti? jadi, apa saja ciri orang riya (pamer)?: menurut sabda nabi : Orang yang riya (suka pamer) berciri tiga, yakniapabila di hadapan orang dia giat, tapi bila sen...dirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. itu baru yang ingin dipuji fESBUKER yang disayangi Allah. ada lagi ancaman mengerikan bagi yang ingin disebut atau mendapat gelar. ..Apakah penjahat? Apakah pezina AKAN duluan dicemplung MASUK ke neraka sampai di keraknya? di hari akhir nanti, siapakah golongan yang diadili masuk neraka duluan?.......... Apakah penjahat? Apakah pezina? Bukan…. Yang diadili duluan ialah orang yang di dunia kelihatanmenjadi pahlawan yang gugur gagah berani, orang alim/pembaca/Penghapal AlQuran, orang yang suka sedekah. “Sesungguhnya manusia yang pertama kali diadili pada hari Kiamat (ada tiga); (1) Orang yang mati syahid. Ia didatangkan lalu diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun mengenalnya. Selanjutnya Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat tadi?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang di jalan-Mu hingga terbunuh.’ Allah berkata, ‘Engkau BOHONG! Engkau berperang supaya disebut pemberani, dan itu sudah terealisir. Lalu diperintahkan agar ia diseret atas wajahnya, hingga dilemparkan ke neraka. (2) Orang yang mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membaca al-Qur’ān. Ia didatangkan lalu diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun mengenalnya. Selanjutnya Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat tadi?’ Ia menjawab, ‘Aku mempelajari ilmu di jalan-Mu dan akupun mengajarkannya, serta aku membaca al-Qur’ān di jalan-Mu.’ Allah berkata, ‘Engkau BOHONG! Engkau belajar supaya disebut `alim, dan itu sudah terealisir. Engkau juga membaca al-Qur’ān supaya disebut dia qāri’ dan hal itu sudah terealisir.’ Lalu diperintahkan agar ia diseret atas wajahnya, hingga dilemparkan ke neraka. (3) Orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan diberikan segala jenis harta. Ia didatangkan lalu diperkenalkan nikmat-nikmatnya, maka ia pun mengenalnya. Selanjutnya Allah bertanya, ‘Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat tadi?’ Ia menjawab, ‘Tidaklah ada suatu sarana yang Engkau suka agar diinfakkan di dalamnya melainkan aku berinfak di dalamnya untuk-Mu.’ Allah berkata, ‘Engkau BOHONG! Engkau melakukannya supaya disebut dermawan, dan hal itu sudah terealisir.’ Lalu diperintahkan agar ia diseret atas wajahnya, hingga dilemparkan ke neraka.” [Riwayat Muslim III/1304/1678.] Dari Abū Hurairah` Jangankan di hari akhir, di dunia saja sudah gampang ketahuan orang yang niatnya pamer dan cari popularitas, dengan terbongkarnya aib dan riyanya Barang siapa (berniat) mencari popularitas(terkenal) dengan amal perbuatannya, maka Allah akan menyiarkan aibnya dan barang siapa yang riya(pamer) dengan amal(perbuatann)nya, maka Allah akan menampakkan riyanya. (Shahih Muslim No.5302) Apa saja ciri orang riya (pamer): menurut sabda nabi : Orang yang riya (suka pamer) berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat, tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Contoh: Imam Shalat Maghrib, Isya, Bacaannya panjaang…., giliran rakaat terakhir cepet banget….karena apa? Karena rakat terakhir bacaannya tidak dikeraskan seperti shalat zuhur atau ashar. Contoh 2: Doyan Speaker Luar.(bernyanyi nyanyi di masjid), ingin menjadi Imam shalat dengan bacaan yang panjang-panjang memamerkan hafalan walaupun bacaannya salah, meremehkan surah yang pendek. Padahal bacaan yang panjang untuk shalat sunnah (seperti shalat tahajud, bukan untuk shalat fardhu di masjid) Kini, Hampir semua orang berniat mengejar harta menjadi ambisinya, hanya karena takut miskin, takut tidak disayang orang tua, takut tidak disayang istri/suami, takut tidak dihormati tetangga dsb, itu semua karena banyak masyarakat menghormati orang kaya dan banyak oknum orang kaya yang suka pamer yang secara tidak langsung menghina orang miskin, akhirnya orang miskin ikut berambisi agar menjadi kaya, tetapi bukannya menjadi kaya, akhirnya malah dihantui oleh kemiskinan (misal org miskin punya rumah dan mobil hidupnya malah susah apa sebabnya?, karena ambisi ingin mengkoleksi dunia (harta dan tahta) maka urusan dunianya malah makin tercabik cabik, tercerai berai di dalam kemiskinan yang menghantuinya مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ “Barangsiapa yang menjadikan dunia ambisinya, niscaya Allah cerai-beraikan urusannya dan dijadikan kefakiran (kemiskinan) menghantui kedua matanya dan Allah tidak memberinya harta dunia kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya.” (HR Ibnu Majah 4095) jadi apa obat jamu tolak miskinnya? Tolak miskin, ialah dengan menjadikan akhirat sebagai santapan tujuan utama, bila akhirat sebagai tujuan kita, maka dunia akan menunduk pada kita dan dunia akan menghampiri orang yang mengutamakan urusan proyek akhirat. inilah pesan Nabi agar dunia tunduk pada kita manusia: وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ “Dan barangsiapa menjadikan akhirat keinginan (utamanya), niscaya Allah kumpulkan baginya urusan hidupnya dan dijadikan kekayaan di dalam hatinya dan didatangkan kepadanya dunia bagaimanapun keadaannya (dengan tunduk).” (HR Ibnu Majah 4095) NIAT untuk akhirat maka akan mendapat dunia Niat tidak ikhlash akan mendatangkan kemiskinan dunia dan kesusahan di akhirat Luruskan niat karena Allah….. aamiin.. Beritakanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan kaki di malam gelap-gulita menuju masjid bahwa bagi mereka cahaya yang terang-benderang di hari kiamat. (HR. Al Hakim dan Tirmidzi) Luruskan niat karena Allah….. aamiin..

Peran dan Tanggung Jawab Wanita Muslimah

Sekilas tentang peran dan tanggungjawab wanita pada masa Rasulullah
Rata-rata kaum wanita pada masa Rasulullah SAW tidak ketinggalan memberikan kontribusi, peran dan tanggungjawab mereka, mereka ikut berlomba meraih kebaikan, meskipun mereka juga sibuk sebagai ibu rumah tangga. Mereka ikut belajar dan bertanya kepada Rasulullah SAW.
Wanita yang paling setia kepada Rasulullah adalah Khadijah yang telah berkorban dengan jiwa dan hartanya. Kemudian Aisyah, yang banyak belajar dari Rasulullah kemudian mengajarkannya kepada kaum wanita dan pria. Bahkan, ada pendapat ulama yang mengatakan, seandainya ilmu seluruh wanita dikumpulkan dibanding ilmu Aisyah, maka ilmu Aisyah akan lebih banyak. Begitulah Rasulullah SAW memuji Aisyah.
Ada seorang wanita bernama Asma binti Sakan. Dia suka hadir dalam pengajian Rasulullah saw. Pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah SAW, engkau diutus Allah kepada kaum pria dan wanita, tapi mengapa banyak ajaran syariat lebih banyak untuk kaum pria? Kami pun ingin seperti mereka. Kaum pria diwajibkan shalat Jum’at, sedangkan kami tidak; mereka mengantar jenazah, sementara kami tidak; mereka diwajibkan berjihad, sedangkan kami tidak. Bahkan, kami mengurusi rumah, harta, dan anak mereka. Kami ingin seperti mereka. Maka, Rasulullah SAW menoleh kepada sahabatnya sambil berkata, “Tidak pernah aku mendapat pertanyaan sebaik pertanyaan wanita ini. Wahai Asma, sampaikan kepada seluruh wanita di belakangmu, jika kalian berbakti kepada suami kalian dan bertanggung jawab dalam keluarga kalian, maka kalian akan mendapatkan pahala yang diperoleh kaum pria tadi.” (HR Ibnu Abdil Bar).
Dalam riwayat Imam Ahmad, Asma meriwayatkan bahwa suatu kali dia berada dekat Rasulullah SAW. Di sekitar Rasulullah berkumpullah kaum pria dan juga kaum wanita. Maka beliau bersabda, “Bisa jadi ada orang laki-laki bertanya tentang hubungan seseorang dengan istrinya atau seorang wanita menceritakan hubungannya dengan suaminya.” Maka tak seorang pun yang berani bicara, maka saya angkat suara. “Benar ya Rasulullah, ada pria atau wanita yang suka menceritakan hal pribadi itu.” Rasulullah menimpali, “Jangan kalian lakukan itu, karena itu jebakan syaitan seakan syaitan pria bertemu dengan syaitan wanita, kemudian berselingkuh dan manusia pada melihatnya.”
Ada juga wanita yang tabah dalam kehidupan rumah tangga yang serba pas-pasan tapi tidak pernah mengeluh seperti Asma’ binti Abi Bakar dan Fatimah. Kutub Tarajim membenarkan cerita tentang Fatimah. “Suatu saat dia tidak makan berhari-hari karena nggak ada makanan, sehingga suaminya, Ali bin Abi Thalib, melihat mukanya pucat dan bertanya, “Mengapa engkau ini, wahai Fatimah, kok kelihatan pucat?”
Dia menjawab, “Saya sudah tiga hari belum makan, karena tidak ada makanan di rumah.”
Ali menimpali, “Mengapa engkau tidak bilang kepadaku?”
Dia menjawab, “Ayahku, Rasulullah SAW, menasehatiku di malam pengantin, jika Ali membawa makanan, maka makanlah. Bila tidak, maka kamu jangan meminta.”
Luar biasa bukan?
Ada juga wanita yang diuji dengan penyakit, sehingga dia datang kepada Rasulullah SAW meminta untuk didoakan. Atha’ bin Abi Rabah bercerita bahwa Ibnu Abbas RA berkata kepadaku, “Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita surga?” Aku menjawab, “Ya.”
Dia melanjutkan, “Ini wanita hitam yang datang ke Rasulullah SAW mengadu, ‘Saya terserang epilepsi dan auratku terbuka, maka doakanlah saya.’ Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu sabar, itu lebih baik, kamu dapat surga. Atau, kalau kamu mau, saya berdoa kepada Allah agar kamu sembuh.”
Wanita itu berkata, “Kalau begitu saya sabar, hanya saja auratku suka tersingkap. Doakan supaya tidak tersingkap auratku.”
Maka, Rasulullah SAW mendoakannya.
Ada juga wanita yang ikut berperang seperti Nasibah binti Kaab yang dikenal dengan Ummu Imarah. Dia bercerita, “Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah saw. Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah SAW terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush’ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka. Rasulullah saw. bercerita, “Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud.” Begitu tangguhnya Ummu Imarah.
Ada juga Khansa yang merelakan empat anaknya mati syahid. Ia berkata, “Alhamdulillah yang telah menjadikan anak-anakku mati syahid.”
Begitulah peranan wanita pada masa Rasulullah saw. Mereka berpikir untuk akhiratnya, sedang wanita sekarang yang lebih banyak memikirkan dunia, rumah tinggal, makanan, minuman, kendaraan, dan lain-lain..