Islam mengajarkan bahwa kaum ibu merupakan fihak yang sangat istimewa
dan tinggi derajatnya. Oleh karena itu kita sangat akrab dengan hadits
yang menjelaskan keharusan seorang sahabat agar memprioritaskan berbuat
baik kepada ibunya. Bahkan Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam menyebutkan
keharusan tersebut sebanyak tiga kali sebelum beliau akhirnya juga
menganjurkan sahabat tadi agar berbuat baik kepada ayahnya. Jadi
ibaratnya keharusan menghormati dan berbuat baik seorang anak kepada
ibunya sepatutnya lebih banyak tiga kali lipat daripada penghormatan dan
perilaku baiknya terhadap sang ayah.
Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu
berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat
kebaikan?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?.
Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau
bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda:
“Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.” (HR Abu
Dawud dan Tirmidzi)
Kita juga sangat akrab dengan hadits yang menyebutkan beberapa dosa
besar dimana salah satunya ialah durhaka kepada kedua orangtua, yaitu
ayah dan ibu. Di antaranya disebutkan sebagai berikut:
Dari Anas ia berkata: Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam ditanya
mengenai dosa-dosa besar, maka beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah,
durhaka kepada kedua orang-tua, membunuh jiwa dan kesaksian palsu.” (HR
Bukhary)
Bahkan di dalam hadits lainnya disebutkan bahwa kedua orang-tua
merupakan faktor yang sangat besar mempengaruhi apakah seseorang bakal
menuju ke surga ataukah ke neraka. Artinya, perilaku baik seseorang
kepada kedua orang-tuanya bakal memperbesar kemungkinannya berakhir di
dalam rahmat Allah dan surga-Nya. Sedangkan kedurhakaannya kepada kedua
orang-tua bakal memperbesar kemungkinan hidupnya berakhir di dalam murka
Allah dan neraka-Nya.
Dari Abi Umamah ia berkata: “Ada seorang lelaki berkata: “Ya
Rasulullah, apakah hak kedua orang-tua atas anak mereka?” Rasulullah
shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda: “Keduanya (merupakan) surgamu dan
nerakamu.” (HR Ibnu Majah)
Hal ini sejalan dengan hadits berikut ini: Dari Abdullah Ibnu Amar
al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda: “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan
kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR Tirmidzi)
Namun yang menarik ialah ditemukannya hadits yang secara khusus
mengungkapkan haramnya durhaka kepada sang ibu. Sedangkan hal ini tidak
kita temukan dalam kaitan dengan larangan berlaku durhaka kepada sang
ayah. Sudah barang tentu ini tidak berarti bahwa berlaku durhaka kepada
fihak ayah dibenarkan. Yang jelas dengan adanya larangan khusus berlaku
durhaka kepada fihak ibu cuma menunjukkan betapa ajaran Islam sangat
menjunjung tinggi martabat kaum ibu.
Bersabda Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam: “Allah melarang kalian durhaka kepada ibu kalian.”(HR Bukhary)
Dalam hadits lain kita juga dapati bagaimana Islam menyuruh
menghormati ibu sekalipun ia bukan orang beriman seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Asma puteri sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq berikut ini:
Asma binti Abu Bakar berkata: “Telah datang kepadaku ibuku dan dia
seorang wanita musyrik di zaman Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam.
Maka aku datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam meminta
fatwa beliau. Aku bertanya kepada beliau: “Telah datang kepadaku ibuku
sedangkan ia punya suatu keperluan. Apakah aku penuhi permintaan ibuku
itu?” Maka Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda: “Iya, penuhilah
permintaan ibumu itu.” (HR Bukhary)
Mengapa kaum ibu sedemikian diutamakan? Karena mereka adalah fihak
yang sejak masih mengandung anak saja sudah merasakan beban memikul
tanggung-jawab membesarkan anak-anaknya. Mereka adalah pendamping,
penyayang, pengasuh dan pengajar pertama dan utama bagi seorang anak.
Ibu adalah fihak yang paling banyak direpotkan oleh anak semenjak mereka
masih kecil. Begitu lahir anak menuntut air susu ibunya. Keinginan
minum ASI seringkali tidak pandang waktu. Bisa jadi seorang ibu di
tengah malam “terpaksa” bangun mengorbankan waktu istirahatnya demi
menyusui buah hatinya.
Seorang ibu juga direpotkan ketika anaknya ngompol dan buang air
besar. Ibulah yang biasanya harus mencebok dan membersihkan anaknya.
Semakin ikhlas seorang ibu mengerjakan semua aktifitas tadi maka semakin
melekatlah si anak kepada dirinya. Di balik segala kerepotan tadi
sesungguhnya terjalinlah ikatan hati yang semakin kokoh antara ibu dan
anak. Itulah sebabnya ketika seseorang sudah dewasa sekalipun, tatkala
dalam kesepian tidak jarang rasa rindu akan belaian tangan ibunya yang
penuh kasih sayang terkenang kembali.
Dalam pepatah Arab ada ungkapan berbunyi Al-Ummu madrasah (ibu
adalah sekolah). Benar, saudaraku. Seorang ibu merupakan sekolah pertama
bagi setiap anak. Ibulah yang pertama kali mengajarkan banyak pelajaran
awal tentang kehidupan kepada anak. Apalagi di zaman penuh fitnah
seperti sekarang dimana al-ghazwu al-fikri (perang pemikiran/ perang
budaya/ perang ideologi) datang menyerbu rumah-rumah kaum muslimin.
Serbuan itu datang dari berbagai penjuru. Bisa dari televisi, internet,
facebook, buku bacaan, komik, majalah, nyanyian, musik, pergaulan bahkan
dari sekolah formal…! Maka kehadiran seorang ibu yang memiliki wawasan
pengetahuan luas menjadi laksana penjaga benteng terakhir bagi
anak-anaknya. Ibulah yang bertugas membentengi, memfilter dan
mengarahkan anak-anak menghadapi berbagai serbuan perang budaya tadi.
Di masa kita dewasa ini saat mana faham ateisme, materialisme,
sekularisme, liberalisme dan pluralisme begitu dominan mewarnai
kehidupan masyarakat dunia, maka kehadiran seorang ibu sendirian
mendampingi anak-anaknya kadang dirasa kurang memadai. Sehingga
kerjasama antara ayah-mukmin dan ibu-mukminah sangat diperlukan. Dalam
dunia modern anak-anak kita sangat perlu pengarahan yang sangat kokoh
dan kompak dari kedua orang-tuanya sekaligus untuk meng-counter serangan
musuh-musuh Islam yang pengaruh buruknya semakin hari semakin
hegemonik.
Betapapun, seorang ayah tidak mungkin diharapkan untuk terus-menerus
berada di rumah karena tuntutan mencari ma’isyah (penghasilan) bagi
anak-isterinya. Oleh karenanya kehadiran dan keaktifan peran seorang ibu
di rumah mendampingi anak-anaknya menjadi sangat strategis. Oleh
karenanya Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam menyetarakan hadir dan
aktifnya seorang ibu mendampingi anak-anaknya di rumah dengan aktifitas
jihad fi sabilillah yang dilakukan oleh kaum pria di medan perang
menghadapi musuh-musuh Allah.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Kaum wanita datang
menghadap Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam bertanya: “Ya
Rasulullah, kaum pria telah pergi dengan keutamaan dan jihad di jalan
Allah. Adakah perbuatan bagi kami yang dapat menyamai ‘amal para
mujahidin di jalan Allah?” Maka Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam
bersabda: “Barangsiapa di antara kalian berdiam diri di rumahnya maka
sesungguhnya ia telah menyamai ‘amal para mujahidin di jalan Allah.” (HR
Al-Bazzar)
Wahai kaum ibu, ikhlaslah dan sabarlah menjaga pos jihad kalian.
Didiklah generasi masa depan calon-calon mujahidin dan mujahidat fii
sabilillah harapan ummat….!
Kelebihan dr seorang wanita ialah Ketika menjadi seorang ibu, Suubhallah sesungguhnya Ridha IBU = Ridha ALLAH....
BalasHapus