Kamis, 12 April 2012

Malam Jum’at dan Sunnah Rasul

Di masyarakat Indonesia, terutama bagi kalangan suami istri, ada 1 hal yg sering dijadikan guyonan (tapi serius), yakni adanya ’sunnah Rasul’ tiap malam Jum’at (Kamis malam). Yang dimaksud dg sunnah Rasul di sini adalah hubungan suami istri, tentu saja dengan pasangannya yg sah ya? Hahaha…
Jadi sunnah Rasul di malam Jum’at bisa diartikan (akan) ada pasutri yg melakukan hubungan suami istri di malam Jum’at.
Adalah hal yg menarik mencermati (sedikitnya) 2 hal berikut:
1. Mengapa ‘mesti’ malam Jum’at?
2. Dan mengapa disebut sunnah Rasul?
saya coba menelaah dengan yg saya ketahui,  jadi unsur subyektifitasnya akan sangat tinggi. 

1. Mengapa ‘mesti’ malam Jum’at?
Sebenarnya, TIDAK ADA KETENTUAN/DALIL KHUSUS yg menjelaskan berhubungan suami istri mesti di malam Jum’at. Setidaknya itu yg saya ketahui selama ini. Apabila memang ada saudara2 yg tahu, dengan senang hati saya akan menerimanya.
Jika memang dalil itu ada, maka kasihan sekali pasangan pengantin baru, yg mesti menunggu malam Jum’at untuk bisa menuntaskan dan menumpahkan rasa kasih sayang mereka. Sementara di 6 hari lainnya, saya tidak tahu pasti apa yang mereka lakukan. 
Hanya saja, saya melihat adanya keterkaitan antara hubungan suami istri di malam Jum’at, puasa Senin-Kamis, dan program kehamilan. Ya, keterkaitan ini mungkin memang ‘akal2an’ saya saja. Tidak ada dasar pastinya, tapi (menurut saya) cukup masuk akal.
Jadi begini. Salah satu ibadah yg disarankan Rasululloh SAW adalah puasa Senin-Kamis. Senin ke Kamis ada waktu 3 hari. Menurut ilmu kedokteran yg pernah saya baca, sperma akan mencapai puncak kematangan di hari ke-3. Dengan kata lain, sperma yg tidak keluar selama 3 hari akan mempunyai kualitas terbaik, insya ALLOH.
Dengan demikian, bagi pasutri yg punya program ingin mempunyai anak, sebaiknya melakukan puasa Senin-Kamis (terutama bagi suaminya), dan baru berhubungan di hari Kamis (malam Jum’at) sehingga benih yg dikeluarkan adalah benih terbaik.
Hal yg sama, dari Jum’at ke Senin ada waktu sekitar 3-4 hari. Jadi, usai buka puasa di hari Senin pasutri (yg punya program memiliki momongan) bisa meneruskannya dengan hubungan suami istri karena kualitas spermanya adalah yg terbaik.
Masuk akal bukan? 
Yang kedua, alasan berhubungan suami istri di malam Jum’at, saya pikir ada hubungannya dengan hadits Rasululloh SAW berikut ini:
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at seperti mandi jinabat (mandi besar), kemudian dia pergi ke masjid pada saat pertama, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor unta dan siapa yang berangkat pada saat kedua, maka seakan-akan ia berkurban dengan seekor sapi, dan siapa yang pergi pada saat ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor domba yang mempunyai tanduk, dan siapa yang berangkat pada saat keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor ayam, dan siapa yang berangkat pada saat kelima, maka seolah-olah dia berkurban dengan sebutir telur, dan apabila imam telah datang, maka malaikat ikut hadir mendengarkan khutbah.” (Muttafaq ‘alaih)
Dugaan saya, daripada melakukan mandi besar tanpa ‘alasan’ yg jelas, maka malam Jum’atnya berhubungan suami istri. Sehingga saat Subuh, tinggal lakukan mandi wajib dg hati yg ikhlas. 

2. Dan mengapa disebut sunnah Rasul?
Ini juga yg saya bingungkan. Kenapa sunnah Rasul diidentikkan dg hubungan suami istri? Padahal banyak sekali sunnah Rasul yg juga bisa dilakukan di malam Jum’at. Tahajud, tadarus, adalah sebagian dari sunnah Rasul tersebut.
Dugaan saya, istilah sunnah Rasul ini sebagai pengganti kata berhubungan suami istri. Karena di Indonesia, hal2 yg terkait dg sex cukup tabu dibicarakan secara terbuka, karena akan dianggap vulgar, maka digunakan istilah sunnah Rasul sbg pengganti.
Saya hanya menyayangkan penyempitan makna dari sunnah Rasul, yg mestinya luas, menjadi berkonotasi ke hubungan suami istri. Kasihan sekali kaum muslim yg belum menikah, jika penyempitan makna ini kian mewabah dan memasyarakat, karena mereka belum mempunyai pasangan yg sah.  Tidak mungkin mereka ber-onani hanya untuk mengejar bisa mandi wajibnya.
Kesimpulannya:
- berhubungan suami istri tidak mesti dilakukan di hari Kamis (malam Jum’at). kecuali bagi yg punya program ingin mempunyai momongan, mungkin bisa dijadikan salah satu pertimbangan.
- kini ada penyempitan makna dari sunnah Rasul. jika digunakan sebagai upaya memperhalus ungkapan hubungan suami istri, it’s ok, tapi salah kaprah ini akan berdampak buruk jika dimaknai dan dipahami dg kacamata kuda.
Jadi, : apakah malam ini  anda dan pasangan menuaikan Sunnah Rasul ? 

Semoga berguna.
 tambahan

Pertanyaan :

Assalamu ‘alaikum. Ustadz, saya sering mendengar dari kebanyakan orang yang mengatakan bahwa berhubungan suami/istri (jima’) pada malam Jumat adalah sunah Nabi. Bahkan ada yang menghubungkan dengan keutamaan seperti membunuh kaum Yahudi. Apakah benar adanya?


Jawaban :

Wa’alaikumussalam. Kami belum pernah menemukan ayat Alquran atau hadis sahih yang menunjukkan anjuran tersebut. Jika ada yang menyampaikan hal tersebut maka dia diminta untuk menyampaikan dalil. (Jawaban Ustadz Abdullah Zaen, M.A.)


Tambahan dari Ustadz Ammi Nur Baits:
Terdapat sebuah hadis yang mengisyaratkan hal ini: Dari Aus bin Abi Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من اغتسل يوم الجمعة وغسّل وغدا وابتكر ومشى ولم يركب ودنا من الإمام وأنصت ولم يلغ كان له بكل خطوة عمل سنة

“Barang siapa yang mandi pada hari Jumat dan memandikan, dia berangkat pagi-pagi dan mendapatkan awal khotbah, dia berjalan dan tidak berkendaraan, dia mendekat ke imam, diam, serta berkonsentrasi mendengarkan khotbah maka setiap langkah kakinya dinilai sebagaimana pahala amalnya setahun.” (H.R. Ahmad, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Imam An-Nawawi dan Syekh Al-Albani)

Sebagian ulama mengatakan, “Kami belum pernah mendengar satu hadis sahih dalam syariat yang memuat pahala yang sangat banyak selain hadis ini.” Karena itu, sangat dianjurkan untuk melakukan semua amalan di atas, untuk mendapatkan pahala yang diharapkan.” (Al-Mirqah, 5:68)

Disebutkan dalam Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, bahwa ada sebagian ulama yang mengartikan kata “memandikan” dengan ‘menggauli istri’, karena ketika seorang suami menggauli istri, berarti, dia memandikan istrinya. Dengan melakukan hal ini sebelum berangkat shalat Jumat, seorang suami akan lebih bisa menekan syahwatnya dan menahan pandangannya ketika menuju masjid. (Lihat Aunul Ma’bud, 2:8)

Jika kita menganggap pendapat ini adalah pendapat yang kuat maka anjuran melakukan hubungan suami-istri di hari Jumat seharusnya dilakukan sebelum berangkat shalat Jumat di siang hari, bukan di malam Jumat karena batas awal waktu mandi untuk shalat Jumat adalah setelah terbit fajar hari Jumat.
Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar